Kriminalisasi Akuntan Publik, UU Dipersoalkan
Jumat, 16 Desember 2011
| 18:42 WIB
Sidang pertama pengujian Undang-Undang No.5/ 2011 tentang Akuntan Publik, khususnya untuk Pasal 55 huruf a dan Pasal 56 digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (16/12) di Ruang Sidang Panel MK. Dua Pemohon prinsipal hadir dalam persidangan yang diketuai Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, beranggotakan Hakim Konstitusi Harjono dan Anwar Usman. Perkara ini diajukan oleh M. Achsin, Anton Silalahi, dan Yanuar Mulyana. Ketiganya didampingi dua orang kuasa hukum yang merupakan konsultan hukum dari Universitas Brawijaya, yaitu Aan Eko Widiarto dan Faizin Sulistio.
Sidang pertama untuk perkara PUU Akuntan Publik ini beragendakan pemeriksaan pendahuluan. Sesuai agenda sidang, Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya menyampaikan pokok permohonan Pemohon. Aan Eko Widiarto menjelaskan bahwa Pemohon merasa dirugikan hak konstitusional mereka dengan berlakunya Pasal 55 huruf a dan Pasal 56 UU Akuntan Publik.
Kedua pasal yang dipermasalahkan Pemohon dianggap telah bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945. Selain itu, Pemohon juga menganggap kedua pasal menimbulkan ketidakpastian hukum untuk Pemohon. ”Kata ’manipulasi’ pada Pasal 55 huruf a UU Akuntan Publik multitafsir. Menurut penjelasan pasal a quo yang membantu melakukan manipulasi juga bisa dipidanakan. Padahal dalam KUHP pelaku dan yang membantu manipulasi dikenakan hukuman yang berbeda, tapi ini disamaratakan,” jelas Aan.
Aan melanjutkan menurut pasal 55 huruf a UU Akuntan Publik juga dinyatakan jika melakukan manipulasi akan dikenakan hukuman lima tahun penjara dan dikategorikan sebagai tindak pidana berat. Padahal, lanjut Aan, dalam pembahasan di DPR sudah disepakati bahwa akuntan publik tidak bisa dikenai pidana seperti itu. ”Ancaman yang diberikan untuk tindakan manipulasi tidak proposional karena hanya melihat tindakan. Seharusnya untuk tindakan menghilangkan data misalnya, hanya perlu diancam dengan kode etik akuntan publik, bukan dikriminalisasi. Ini menimbulkan ketakutan dan ketidaknyamanan bagi akuntan publik,” jelas Aan.
Aan juga memaparkan bahwa sebenarnya sudah banyak peraturan yang mengatur tentang akuntan publik. Sehingga dengan adanya UU ini dirasa berlebihan oleh Pemohon karena persoalan akuntan publik diatur sendiri.
Seperti dalam persidangan pemeriksaan perkara di MK, panel hakim diwajibkan untuk memberikan masukan kepada Pemohon. “Silakan mau dipakai atau tidak, mau mengabaikan nasihat kami juga tidak jadi soal. Ini sudah jadi kewajiban kami, itulah yang membedakan MK dengan lembaga peradilan lain,” jelas Fadlil.
Harjono memberikan saran agar Pemohon menjelaskan lebih detil lagi hak apa yang dihalangi dengan adanya Pasal 55 huruf a dan Pasal 56 UU Akuntan Publik itu. Sedangkan Anwar menasihati agar Pemohon memberikan pembanding UU lain yang serupa dengan UU Akuntan Publik ini. Sedangkan Fadlil mengingatkan agar Pemohon menegaskan kedudukan hukum Para Pemohon. ”Pemohon ini perorangan atau profesi? Soalnya itu berbeda hak-hak konstitusionalnya. Jadi tolong dijelaskan,” tutup Fadlil. (Yusti Nurul Agustin/mh)