Judicial review menjadi ‘mahkota’ Mahkamah Konstitusi, terjadi ketika negara Austria mendirikan Mahkamah Konstitusi atas gagasan pakar hukum, Hans Kelsen. “Gagasan itu mengenai pengujian undang-undang di sebuah Mahkamah Konstitusi,” ungkap Rafiuddin., Pengadministrasian Umum Ketua MKRI Moh. Mahfud MD kepada para mahasiswa program S-2 Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Pertiba, Bangka Belitung pada Kamis (15/12) siang.
Rafiuddin melanjutkan, para pendiri Republik Indonesia dalam sidang BPUPK pada 1945 melakukan perdebatan perlu tidaknya di Indonesia terdapat lembaga yang menguji undang-undang terhadap UUD.
“Usulan itu keluar dari pemikiran Prof. Moh. Yamin. Selayaknya Indonesia memiliki Balai Agung yang dapat membanding UU terhadap UUD,” ujar Rafiuddin.
Kala itu, pemikir-pemikir hukum di Indonesia sudah mampu mengakses pemikiran-pemikiran komtemporer yang berkembang di Barat. Namun, gagasan Moh. Yamin akhirnya ditolak karena tidak mendapat persetujuan dari Prof. Soepomo sebagai salah seorang pakar hukum yang disegani di Indonesia.
“Menurut Soepomo, Mahkamah Konstitusi tidak cocok dengan budaya hukum di Indonesia. Karena Mahkamah Konstitusi itu hanya dapat digerakkan pada sistem hukum yang menganut ‘Trias Politica’,” jelas Rafiuddin. Alasan lain penolakan terhadap gagasan Moh. Yamin, saat itu Indonesia belum banyak sarjana hukum yang memiliki keahlian terkait penerapan hukum ketatanegaraan.
Gagasan mendirikan Mahkamah Konstitusi di Indonesia tidak berhenti begitu saja. Ketika Indonesia menjadi negara RIS, dalam Konstitusi RIS diatur mengenai pengujian UU negara bagian terhadap UUD. Selanjutnya, pada masa peralihan antara orde lama ke orde baru, ada gagasan untuk memunculkan lembaga yang dapat melakukan pengujian UU terhadap UUD di Mahkamah Agung (MA).
“Hanya saja, pada saat itu pemerintah tidak setuju, walaupun MPRS sudah memutuskan pengujian UU terhadap UUD di MA harus diatur. Karena menurut pemerintah, yang berhak melakukan penilaian konstitusional terhadap UU adalah MPR,” tutur Rafiuddin.
Barulah setelah Reformasi 1998 di Indonesia, gagasan pengujian UU terhadap UUD dapat diwujudkan. Karena ketika itu dirasakan banyak terjadi overlapping mengenai norma dalam UU yang satu dengan UU yang lain.
“Bahkan di kalangan kampus, para pemikir akademik menyampaikan bahwa tidak ada reformasi tanpa adanya perubahan konstitusi,” imbuh Rafiuddin.
Singkat cerita, setelah terjadi perubahan UUD 1945 pada 1999-2002, tepatnya 13 Agustus 2003 dibentuklah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) yang memiliki kewenangan menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum termasuk pemilukada.
Sedangkan kewajiban MKRI adalah memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. (Nano Tresna A./mh)