Dalil-dalil pemohon terkait uji Undang-Undang No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan ditanggapi oleh Pemerintah. Menurut Pemerintah, UU 20/2009 dibentuk berdasarkan pada landasan filosofis yang kuat. Salah satunya karena, hal itu diamanatkan oleh Konstitusi, yakni oleh Pasal 15 Undang-Undang Dasar 1945.
Demikian hal itu dinyatakan oleh Pemerintah dalam tanggapannya yang disampaikan oleh salah satu perwakilan Pemerintah pada sidang perkara No. 61/PUU-IX/2011, Rabu (14/12) di ruang sidang Pleno MK. Pemerintah menegaskan, pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, diberikan kepada orang-orang yang telah berbuat atau memberikan sesuatu yang luar biasa dan melebihi batas-batas yang semestinya bagi keutuhan, kelangsungan, dan kemajuan bangsa dan negara. “Bagi orang yang menunjukkan sikap keteladanan bagi bangsa dan negara.”
Tidak hanya sampai disitu. Menurut Pemerintah, penentuan seberapa pantas orang bisa diberikan tanda kehormatan atau gelar telah didasari oleh pertimbangan-pertimbangan yang objektif dan akuntabel. Setidaknya ada beberapa aspek yang diperhatikan, yakni: kesejarahan, keselarasan, keserasian, keseimbangan, bobot perjuangan, karya, prestasi, dan visi kedepan.
Selanjutnya, menurut Pemerintah, dibentuknya UU No. 20/2009 adalah ditujukan untuk penyederhanaan (unifikasi) pengaturan terkait pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan. Karena, pengaturan terkait hal itu sangatlah banyak. “Setidaknya tersebar dalam 121 produk perundang-undangan, tidak termasuk surat edaran,” ungkap Pemerintah.
Selain itu, pertimbangan lainnya adalah dikarenakan terbatasnya area Taman Makam Pahlawan Nasional yang ada. “Sehingga menuntut adanya kebijakan yang tepat, selektif, bervisi ke depan, dan objektif,” tegas Pemerintah.
Sebelumnya, Pemohon menguji Pasal 33 ayat (6) dan Pasal 43 ayat (7) UU 20/2009. Menurut Pemohon ketentuan tersebut diskriminatif. Pemohon dalam perkara ini adalah Letjen TNI (Purn) Rais Abin dan Letjen TNI (Purn) Soekotjo Tjokroatmodjo.
“Apa kesalahan kami (para penerima Bintang Gerilya) sampai ditolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata? Lalu, apa kami yang masih hidup setelah 2006, akan melanggar undang-undang jika dimakamkan di TMP Kalibata? Dan bagaimana dengan teman-teman kami yang sudah meninggal dan dimakamkan di TMP Kalibata sebelum 2006, apa mereka juga melanggar hukum?” ujar Purbo Suwondo di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD, pada persidangan sebelumnya, Selasa (22/11). (Dodi/mh)