Diantara kesibukan menghadapi sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD pada Selasa, (13/12) melakukan perjalanan tugas ke Bandung dalam rangka menjadi pembicara utama acara “Seminar dan Loka Karya Nasional Pendidikan dan Pengajaran Ekonomi Islam” yang di laksanakan di Gedung Hj. Kartimi Kridhoharsojo (Aula Utama) Universitas Islam Bandung (UNISBA) Bandung.
Acara ini di selanggarakan oleh Badan Kerja Sama Perguruan Tinggi Islam Swasta (BKS-PTIS). BKS-PTIS sendiri beranggotakan lima Perguruan tinggi Islam Swasta antara lain Universitas Islam Bandung (UNISBA), Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Muhamadiyah Jakarta (UMJ), Universitas Islam Riau (UIR), dan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Dalam materi yang disampaikan, Mahfud mengatakan kesenjangan masyarakat antara kaya dengan yang miskin dan antara ekonomi kuat dan ekonomi lemah yang terjadi sekarang ini semakin terlihat perbedaannya. “Konon sekarang ini 50% kekayaan atau kehidupan ekonomi Indonesia itu di kuasai oleh 50 orang, padahal penduduk Indonesia itu lebih dari dua ratus juta orang. Sementara angka pengangguran dan kemiskinan bermacam-macam persepsi, ada salah satu yang berpendapat 23 juta. Semua itu menjadi persoalan ekonomi di masyarakat kita yang kemudian di sisi lain ada fenomena lain yaitu korupsi yang disebabkan oleh tata kelola dan perebutan-perebutan sumber daya ekonomi di Indonesia itu merajalela. Kita mungkin hampir putus asa jika bicara tentang korupsi,” jelasnya.
Mahfud melanjutkan, mengenai harapan memperbaiki negara. Mahfud mengatakan,”Ada sebuah pertanyaan klasik “apa bisa negara ini di perbaiki ?” Terkadang sudah menjadi putusan sebuah pengadilan pun sulit untuk ditidaklanjuti, sehingga sering timbul pertanyaan dari masyarakat “masih ada hukum di negeri ini ? Sudah menjadi putusan pengadilan menjadi inkracht ?” Jika di kaitkan dengan ekonomi, kata Mahfud, persoalan-persoalan itu di timbulkan oleh pergulatan ekonomi masyarakat itu sendiri. “Kita akan berfikir jangan-jangan tata kelola ekonomi kita itu mempunyai andil yang paling besar di antara masalah-masalah lain. Lalu sistem ekonomi apa yang kita pakai ? Ada yang mengatakan fenomena yang muncul di negeri kita ini sebenarnya sama dengan negara-negara kapitalis,” jelasnya. Ada yang mengatakan, di Indonesia ini sekarang diakui atau tidak, walaupun kita punya sistem ekonomi Pancasila tetapi sebenarnya dalam praktiknya adalah ekonomi kapitalis, sekurang-kurangnya di dominasi oleh kapitalisme walaupun formalnya ekonomi Pancasila, sehingga banyak gugatan-gugatan terhadap MK yang menggugat persoalan kapitalisme di dalam proses kebijakan ekonomi kita yang di tuangkan dalam undang-undang.
Kalau orang sudah bicara kapitalis, lanjut Mahfud, sekurang-kurangnya dampaknya kapitalisme itu membuat suatu negara dan bangsa itu tidak baik di karenakan kapitalisme itu berangkat dari premise setiap keserakahan manusia itu merupakan bagian hak azasi, sehingga keserakahan itu di beri kebebasan untuk disalurkan menurut aturan-aturan yang di sepakati bersama. “Jadi asumsinya ekonomi itu akan maju kalau orang itu yang serakah di biarkan melaksanakan keserakahannya selama itu diatur oleh hukum. Kemudian, dalam konteks itu, harus ada persaingan bebas menurut kemampuannya masing-masing karena itu dikatakan bagian dari hak asasi. Karena hak asasi itu menghargai hak dan memercayai manusia itu lahir dalam keadaan bebas. Oleh sebab itu dia tidak boleh dihalangi oleh negara sekalipun untuk menggunakan kebebasan itu.
Dalam acara itu, Mantan Menteri Pertahanan RI semasa Gus Dur ini juga bertindak Wakil Ketua Penasehat BKS-PTIS di dampingi oleh ketua Penasehat BKS-PTIS Prof. DR. Drs Edi Suandi Hamid, Rektor Universitas Islam Bandung (UNISBA) Prof. Dr. dr.M. Thaufiq Siddiq Boesoirie, M.S.,Sp THT KL (K), perwakilan dari anggota BKS-PTIS dan mahasiswa Universitas Islam Bandung (UNISBA). Pada akhir pernyataannya, Mahfud mengatakan, Ilmu itu harus memihak, tidak boleh dianggap netral. Ilmu itu harus memihak kepada kemaslahatan umat manusia agar umat manusia itu selamat hidupnya. Ilmu bukan diciptakan untuk akal-akalan dan yang berikutnya Ilmu itu tidak dikatomis, tidak memisahkan antara faham agama dan faham keilmuan sekuler. Ilmu itu integratif dan ilmu itu bagian dari Agama. (Edhoy/mh)