Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD menjadi pembicara utama Seminar Internasional Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri, yang mengangkat tema “Tantangan dan Peluang Hukum Islam dalam Pembangunan Politik Hukum dan Penegakkan Konstitusi”, Jum’at (9/12) di aula kampus STAIN Kediri.
Mahfud dalam kesempatan tersebut banyak memberikan pandangan terkait Islam dan Konstitusi di Indonesia. Kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” ditegaskan Mahfud merupakan kalimat tauhid. Hal tersebut merupakan hasil perdebatan Sukarno dengan Natsir mengenai dua paham hubungan antara agama dan negara, yakni negara sekuler dan teokrasi. “Makna kalimat ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ sebagai kalimat tauhid sendiri merupakan hasil pemahaman tokoh Muhammadiyah kala itu, Ki Bagus Hadi Kusumo,” ungkap pria kelahiran Pamekasan itu. Dengan kalimat tersebut, Indonesia memosisikan diri bukan sebagai negara agama dan bukan pula sebagai negara sekuler, namun sebagai negara Pancasila.
Indonesia tidak memberlakukan hukum agama, tapi melindungi warga negara untuk melaksanakan hukum agama. Mahfud juga menceritakan, penghapusan kata syariat Islam dari konstitusi karena dirasa tidak adil, karena dengan begitu hukum agama-agama lain juga harus dicantumkan dalam konstitusi.
“Semestinya kita bersyukur, karena ada rekayasa Allah untuk mencoret tujuh kata tersebut. Karena jika tidak, maka akan muncul faksi-faksi di Indonesia, karena mazhab apa yang akan digunakan sebagai landasan hukum. Sedangkan hukum sendiri menghendaki adanya kepastian hukum,” ungkap Mahfud. Di sisi lain, manusia ditakdirkan berbeda, kalau Allah ingin berkehendak seluruh manusia menjadi Islam, hal tersebut bisa dilakukan Allah dengan mudah. Maka dari itu, perbedaan sejatinya adalah kehendak Allah kepada manusia.
Mahfud menegaskan, ada tiga patokan berlakunya hukum Islam tanpa harus menyebutkan dalilnya, yang pertama kesatuan asal-usul manusia, kedua “kalimatun sawa” yang berarti universalitas nilai-nilai Islam yaitu keadilan, dan ketiga adalah “hanifiatus samhah”, yaitu lurus dan toleran. Pancasila sendiri modus vivendi dalam bahasa latin, atau sebagai mitsaqon gholidzo yang dalam bahasa Arab merupakan kesepakatan, akad atau perjanjian bangsa Indonesia untuk hidup bersama. Hal tersebut dicontohkan oleh Nabi Muhammad lewat piagam Madinah.
Apa yang dicontohkan oleh Nabi mengajak kita agar tidak tegang dalam beragama, jika Allah menginginkan sesuatu Allah bisa saja melakukan sesuatu. Allah tidak harus dibela ujarnya. Oleh karena itu dalam beragama kita tidak boleh tegang, kalau dalam beragama justru bawaannya marah dan emosi berarti ada yang salah dalam beragama. Dalam kesempatan tersebut, guru besar hukum tata negara itu juga menceritakan pengalamannya saat melakukan perjalanan ke tiga negara Eropa Timur beberapa waktu lalu. Kazakstan dan Azerbaijan yang memiliki penduduk mayoritas Muslim justru memilih negara sekuler dalam hubungan antara negara dan agama. Atas hal itulah, ada perbedaan mendasar antara memproteksi hukum agama dengan memberlakukan hukum suatu agama. (Ilmam/mh)