Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD kunjungi Pondok Pesantren Al Amien, Kediri, Jawa Timur, Jum’at (9/12) kemarin. Dalam acara tersebut, Mahfud juga memberikan pengajian terkait konstitusi bersama para pengurus pondok pesantren se-Karesidenan Kediri, Jawa Timur, yang berlangsung di Kasihan.
Dalam kunjungan tersebut, Mahfud menyampaikan berbagai persoalan yang terjadi belakangan ini, khususnya Surat Palsu MK. Menurut Mahfud, bangsa ini tidak bisa terus menerus menyalahkan Polri, sebab sudah bekerja dengan maksimal. Kesalahan itu adalah tanggung jawab seluruh komponen bangsa yang sudah membuat dan mendukung sistem politik yang buruk.
Dalam kehidupan bernegara, ada dua pilar dalam menjalankan negara, yakni ulama dan umaro. “Ulama sebagai pemimpin agama berperan untuk membimbing moral masyarakat, sedangkan umaro bertugas untuk melayani masyarakat,” ungkapnya. Selain itu, ada tiga pilar dalam berdemokrasi, namun tiga pilar itu sedang sakit karena korupsi. Mahfud mengatakan, “Penyembuhannya lama, negara ini bisa hancur.” Seluruh teori untuk memberantas korupsi sudah habis, sehingga dirinya merasa sudah merasa bosan jika diundang untuk ceramah mengenai anti korupsi, sebab sudah saatnya untuk bertindak melawan korupsi.
Karena kebosanan itu serta teori yang sudah habis, dirinya beberapa waktu lalu melontarkan guyonan mengenai kebun koruptor, dimana koruptor dimasukkan kedalam tempat seperti kebun binatang dan disaksikan oleh banyak orang. Mahfud menambahkan, untuk memberantas korupsi diperlukan pemimpin yang bersih dan berani.
Dalam kesempatan tersebut, Mahfud menceritakan bagaimana penanganan kasus korupsi yang sudah ada putusan dari pengadilan, namun tiba-tiba berubah. Untuk membuktikan seorang pejabat bersalah, maka beberapa anak buah pejabat tersebut terlebih dahulu diadili hingga tingkat kasasi. Namun karena perkara tersebut pejabat itu ditetapkan sebagai tersangka, secara tiba-tiba bawahan pejabat tersebut dibebaskan tanpa ada proses peninjauan kembali.
Selain itu, Mahfud juga menyinggung kehidupan politik yang saat ini dinilai tidak baik. Pimpinan politik, menurut Mahfud, hampir seluruhnya masuk dengan cara-cara curang, namun tidak ketahuan karena sama-sama curang. Namun Mahfud mengingatkan kepada hadirin untuk tidak membenci partai politik, polisi, jaksa dan hakim. Justru dengan keadaan seperti itu masyarakat harus bisa memperbaiki bersama.
Dalam sesi tanya jawab, muncul banyak pertanyaan mengenai kasus korupsi yang tidak tuntas, yaitu kasus Century, bagaimana perubahan yang harus dilakukan di Indonesia, serta tatanan politik indonesia. Mahfud menyatakan, penyelesaian kasus korupsi di Indonesia terhambat karena adanya politik saling sandera. Mahfud mengungkapkan, “Semakin besar tekanan untuk menyelesaikan kasus korupsi, justru menimbulkan deal-deal politik antar elit politik. Menurutnya, jika keadaan saling kunci ini terjadi terlalu lama, rakyat akan bertindak untuk membuka kebuntuan itu.”
Namun demikian, sebenarnya masih banyak polisi, jaksa dan hakim yang masih baik dan lurus. Sayangnya mereka tidak dapat bertindak karena ditekan dan disingkirkan. Di sisi lain orang korupsi saat ini justru bangga dengan perbuatannya, dan masyarakat menjadi kebal dan terbiasa dengan korupsi, karena banyak berita mengenai kasus-kasus korupsi yang besar diangkat oleh media. Hal itu justru membuat orang menganggap remeh dan kecil kasus korupsi yang nilainya satu-dua milyar.
Atas pertanyaan atas kasus Century, Mahfud mengingatkan hadirin, bahwa kasus tersebut sudah selesai dan pelakunya sudah ditahan, bahkan BPK saat ini sedang melakukan audit forensik untuk membongkar kasus terebut, karena kemungkinan ada pelaku lain yang dapat diungkap. Mengenai kekecawaan yang berujung dengan tuntutan untuk melakukan perubahan karena kecewa dengan pemerintahan yang ada, Mahfud mengajak kepada para ulama agar tidak berpikiran menjatuhkan pemerintah. “Kalau saat ini dinilai jelek, menurutnya itu kesalahan dari rakyat Indonesia mengapa ketika pemilu memilih yang jelek,”terang Guru Besar Hukum Tata Negara UII Yogyakarta ini.
Sistem presidensiil justru menghendaki posisi presiden harus kuat. Mahfud menegaskan, “Kita juga tidak boleh menimpakan kesalahan pada seseorang, sebab sistemnya sudah seperti itu. Revolusi justru mahal ongkosnya, bahkan Indonesia bisa saja hilang karena tindakan itu.” Mahfud juga mengajak kepada para pengurus pondok pesantren yang hadir dalam kesempatan itu, untuk berdoa agar revolusi tidak terjadi. Usai kegiatan di Pondok Pesantren Al Amien, Mahfud MD menyempatkan diri mengunjungi pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Kyai Haji Idris. (Ilham WM/mh)