Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menerima kunjungan para mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, pada Selasa (13/12) di Ruang Konferensi Pers Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam kesempatan itu Maria menerangkan berbagai permasalahan mengenai prosedur berperkara di MK, hingga wewenang MK, antara lain memutuskan pembubaran partai politik (parpol).
“Pembubaran parpol bisa diajukan ke MK, tetapi yang berhak memohon pembubaran parpol adalah Presiden,” jelas Maria.
Maria melanjutkan, meskipun banyak parpol yang pecah, di antaranya Partai Demokrasi Indonesia (PDI) maupun Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), tetapi tidak ada yang pernah diajukan ke MK. Presiden yang harus mengajukan permohonan membubarkan parpol bermasalah. Alasannya, misalnya ideologi parpol bertentangan dengan ideologi negara, asas dan tujuan maupun program parpol bertentangan dengan UUD 1945.
“Namun dalam praktiknya tidak ada parpol yang ideologi, asas dan tujuannya bertentangan dengan UUD 1945, sehingga sampai saat ini MK belum pernah memutuskan perkara pembubaran parpol,” urai Maria.
Mengenai prosedur sidang pembubaran parpol, ungkap Maria, Pemohonnya adalah Pemerintah, baik pusat dan daerah, diwakili Jaksa Agung atau Menteri yang ditugaskan oleh Presiden. Sedangkan Termohonnya adalah Partai Politik yang diwakili pimpinannya, serta didampingi Kuasa Hukumnya.
“Proses-proses selanjutnya sama proses seperti permohonan pengujian UU ke MK. Setelah itu dapat dilakukan sidang terbuka, mulai dari pemeriksaan, pembuktian para saksi dan para ahli, hingga pengucapan amar putusan,” tambah Maria kepada hadirin.
Dikatakan Maria lagi, kalau amar putusan mengabulkan permohonan Pemohon, maka MK menyatakan membubarkan dan membatalkan status badan hukum parpol yang digugat. Selanjutnya MK meminta kepada Pemerintah untuk menghapus parpol dari daftar Pemerintah, maksimal 7 (tujuh) hari sejak putusan MK diterima.
“Selain itu mengumumkan putusan MK dalam Berita Negara, maksimal 14 (empat belas) hari sejak putusan MK diterina,” ucap Maria.
Pada pertemuan itu, Maria juga menjawab pertanyaan salah seorang mahasiswa mengenai alat bukti DPR terhadap dugaan Presiden atau Wakil Presiden melanggar konstitusi.
“DPR bisa meminta alat bukti dari beberapa lembaga. Berdasarkan UUD MD3, DPR dapat meminta pihak-pihak lain, baik Menteri atau Presiden untuk datang kalau DPR mengajukan satu pertanyaan. Kalau ada hak angket, maka DPR bisa meminta lembaga negara lain untuk datang untuk didengarkan pendapatnya,” papar Maria yang juga menjelaskan DPR bisa membuat rapat-rapat dengar pendapat umum.
“DPR juga membuka diri untuk menerima surat-surat atau tanggapan-tanggapan dari rakyat. Namun demikian, DPR selektif menanggapi surat-surat yang masuk. Kalau surat kaleng, tidak akan ditanggapi. Tapi kalau nama dan alamat pengirim surat jelas, maka akan ditanggapi DPR,” tandas Maria. (Nano Tresna A./mh)