Bangsa Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma 1998, dikarenakan masih banyaknya masalah-masalah yang harus dihadapi. Namun untuk sekarang, kita harus mendorong Statuta Roma 1998 untuk diratifikasi. Demikian disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud MD saat menjadi keynote speech dalam acara Peluncuran dan Bedah Buku berjudul, ”Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana International, Dalam Kerangka Hukum Pidana International dan Implikasinya terhadap Hukum Pidana Nasional,” karya Prof. Muladi selaku Mantan Gubernur Lemhanas dan Pakar Hukum Pidana, di Gedung Dwi Warna Purwa Lemhanas RI, Jakarta.
Acara yang di selenggarakan hari Selasa (12/12) tersebut, dihadiri oleh para tokoh nasional di antaranya, A.S Natabaya selaku mantan hakim konstitusi, Hikmahanto Juwana (Gurus Besar FH UI), Ifdal Kasim (Ketua Komnas HAM), Let. Jend. TNI (Purn) Agus Wijoyo, Caheruman Harahap (Ketua Komisi II DPR RI), Azis Syamsudin (Wakil Ketua Komisi III DPR RI), dan ratusan peserta yang mengikuti acara tersebut.
Mahfud juga menambahkan bahwa dorongan untuk meratifikasi itu timbul, dikarenakan 2 (dua) hal, yaitu pertama adalah tata kelola negara sekarang ini dinilai sudah lebih baik, sudah jauh lebih siap untuk menerima Statuta Roma 1998, ”dan kita juga harus mengakui bahwa setelah adanya reformasi, hampir tidak terjadi pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang struktur dilakukan oleh negara,” ucapnya.
Oleh sebab itu, kata Mahfud, pentingnya supaya diratifikasi adalah agar tidak terjadi kejadian-kejadian seperti di masa lalu, dan untuk menyosong masa depan dengan politik hukum dan HAM yang lebih baik. ”Sebab bukan tidak mungkin ke depan mungkin bisa terjadi situasi di mana kita harus membuat dan mengikuti Mahkamah Pidana Internaional tersebut,” jelas Mahfud.
Sementara yang kedua adalah mungkin pada suatu saat negara akan mengalami kesulitan menghadapi konflik horisontal antara rakyat dengan rakyat, sehingga negara tidak berdaya. ”Maka pada akhirnya, Mahkamah Pidana International harus turun kalau sudah terjadi konflik horisontal yang bersifat masif dan menyangkut tanggung jawab negara bagi perlindungan HAM,” urai Mahfud.
Di samping keinginan untuk mendorong ratifikasi statuta Roma 1998 tersebut, Mahfud juga mengomentari sambutan dari Muladi yang disampaikan oleh Dia Sulistyani selaku putri Muladi. Dalam sambutannya, kata Mahfud, dia merasa ada beban moral, merasa mempunyai hutang terhadap bangsa Indonesia, terkait dengan ratifikasi Statuta Roma 1998, dikarenakan statuta tersebut sampai sekarang belum diratifikasi di Indonesia.
Lanjut Mahfud mengatakan, bahwa sebagai ilmuwan dan pejuang HAM, Muladi mempunyai keinginan agar Statuta Roma 1998 diratifikasi. Tetapi pada saat itu, katanya, ada tantangan besar juga dari dalam, “dan andaikata dirafikasi mungkin kita yang mempunyai masalah besar. Di mana Mahkamah Pidana International akan ikut campur dalam penyelesaian terhadap pelanggaran-pelanggaran yang ada di masa lalu,” tutur Mahfud.
Pada masa lalu memang rencananya Statuta Roma 1998 akan diratifikasi, akan tetapi di dalam negeri belum sepakat tentang bagaimana menyelesaikan kasus-kasus yang ada, “maka disanalah akan terjadi persoalan yang besar,” pungkas Mahfud MD. “Dan disanalah saya pahami, kenapa Muladi merasa berutang pada bangsa ini.”
Selain itu, kata Mahfud, mengapa pada waktu reformasi banyak orang yang memikirkan tentang perlindungan HAM ditanggapi dengan sungguh-sungguh, dan harus dilakukan dengan amandemen UUD 1945? Karena, menurutnya, pemerintah otoriter yang terbangun pada waktu Orde Baru, dilakukan dengan manipulasi-manipulasi terhadap konstitusi. ”Sehingga pada waktu itu, banyak sekali pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di negara ini. Dan, begitu masa orde baru jatuh, agenda yang paling penting adalah mengamendemen UUD 1945 yang sudah bagus itu,” ucap Mahfud.
Lebih dari itu, kata Mahfud, amandemen yang sudah bagus tersebut, diatur secara lebih pesat lagi melalui 3 (tiga) hal yaitu jaminan HAM harus lebih jelas. Kedua, supaya HAM terlindungi dengan baik, maka harus ada demokrasi yang di tata melalui lembaga-lembaga negara, seperti yang ada sekarang. ”Untuk yang terakhir adalah demokrasi harus dijamin dengan tegaknya hukum, karena demokrasi tanpa adanya nomokrasi (kedaulatan hukum), maka akan menimbulkan anarki,” jelas Mahfud. (Shohibul Umam/mh)