Segenap mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (12/12). Kedatangan mereka diterima langsung oleh Abdul Goffar, Peneliti MK yang juga memberikan pencerahan melalui kuliah singkat seputar latar belakang dibentuknya Mahkamah Konstitusi dan hal-hal terkait lainnya.
Abdul Goffar menjelaskan, latar belakang dibentuknya MK juga dipengaruhi reformasi 1998. Salah satu tuntutan reformasi adalah menciptakan sebuah negara yang tidak otoriter. Hal ini didasarkan pada masa pemerintahan Presiden RI beberapa tahun lalu, seperti Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto yang di akhir pemerintahannya cenderung otoriter.
“Selama 25 tahun memimpin, Bung Karno pada awalnya sangat demokratis namun pada ujung jabatannya malah otoriter. Demikian pula Pak Harto yang memimpin Indonesia selama 32 tahun, pada mulanya sangat demokratis tapi kemudian juga menjadi otoriter,” urai Goffar.
Dikatakan Goffar, adanya pemerintahan yang otoriter di Indonesia, karena hal itu dibenarkan secara teori bahwa kekuasaan itu cenderung untuk disalahgunakan. Termasuk kekuasaan yang absolut, akan memunculkan penyalahgunaan yang lebih hebat lagi.
“Kekuasaan yang absolut ternyata dibenarkan oleh UUD 1945. Model sistem ketatanegaraan sebelum perubahan UUD 1945, kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Seperti tercantum dalam Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan UUD 1945,” papar Goffar.
Goffar melanjutkan, sebelum terjadi reformasi 1998, kekuasaan seratus persen yang diberikan rakyat melalui pemilu, diberikan pula seratus persen kepada Presiden. Selanjutnya, dalam praktiknya Presiden membagikan kekuasaan kepada DPA, DPR dan kepada lembaga-lembaga tinggi negara lainnya.
“Padahal semestinya Presiden setingkat dengan DPR, MPR, BPK, dan lembaga tinggi negara lainnya,” ucap Goffar.
Tetapi kenyataannya, karena Presiden memegang mandataris MPR, maka dia memegang seratus persen kekuasaannya yang kemudian didistribusikan ke lembaga lain. Itulah yang terjadi selama masa Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto.
Selain itu, lanjut Goffar, Pasal 10 UUD 1945 sebelum perubahan UUD 1945 menyebutkan “Panglima Tertinggi di Indonesia adalah Presiden”. Dalam konteks tongkat komando, yang namanya TNI, tetap satu komando. Secara otomatis, yang menentukan anggota ABRI menjadi anggota MPR adalah Presiden.
Lebih lanjut Goffar menerangkan mengenai pengertian living constitution, sebagai ‘sebuah konstitusi yang hidup’.
“Hal inilah yang kemudian menggelayuti pikiran kita bersama, apakah Indonesia memiliki sebuah konstitusi yang hidup? Maksud konstitusi yang hidup adalah sebuah konstitusi yang bisa menyesuaikan zaman, konstitusi yang tidak lekang dimakan waktu, sebuah konstitusi yang bisa ditegakkan,” tandasnya. (Nano Tresna A./mh)