JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) secara resmi menerima perbaikan permohonan Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) terkait gugatan terhadap UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Dengan perbaikan permohonan itu, majelis hakim MK diharapkan melihat dengan jeli kesalahan-kesalahan tafsir dari pasal yang diuji.
"Supaya tidak ada upaya merekayasa kepemilikan, saya harap hakim konstitusi dapat melihat dengan jeli realitas yang terjadi," kata Hendriyana, anggota KIDP usai persidangan di Gedung MK, Rabu (7/12).
Persidangan yang dipimpin Majelis hakim konstitusi, Harjono itu hanya membahasa perbaikan permohonan. Sidang selanjutnya akan dibuka setelah MK memberikan jadwal sidang dengan agenda mendengarkan saksi/ahli dari pemohon dan pihak terkait.
Hendriyana mengatakan, pihaknya telah melengkapi perbaikan antara lain, mencantumkan perbandingan industri penyiaran di beberapa negara, dan penjelasan hak-hak konstitusi yang dilanggar. “Kami sudah melengkapi permohonan dengan mencantumkan masukan-masukan dari hakim dalam permohonan, seperti perbandingan dari beberapa negara serta kerugian konstitusional," tambahnya.
Dikatakannya pula, KIDP menginginkan adanya menafsiran yang konstitusional terkait pasal yang diuji, yakni Pasal 18 Ayat 1 dan Pasal 34 Ayat 4, agar tidak menyebabkan kerugian masyarakat akibat pemusatan kepemilikan frequensi. “Akibatnya terjadi keberagaman dalam konten, hak publik bertabrakan dengan diversity of ownership. Harus ada tafsir yang konstitusional," katanya.
Sebelumnya, Koordinator KIDP Eko Maryadi mengatakan, uji materi dilakukan karena posisi UU Penyiaran sangat lemah, dan sering kali disalahtafsirkan secara sepihak oleh para pemilik media. Padahal penyiaran merupakan suatu media yang menggunakan ranah publik yaitu frekuensi, yang seharusnya digunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Sayangnya, pada praktiknya para pemimpin media penyiaran kerap memperjualbelikan frekuensi penyiaran dan menciptakan pemusatan kepemilikan bisnis penyiaran.
"Terkait itu, ada kesalahan penafsiran tentang Pasal 18 UU Penyiaran. Pemerintah selama ini mempraktikkan bahwa pemusatan kepemilikan itu di bagian hukum penyiarannya, sehingga holding seperti, MNC, EMTEK, PC Media diperbolehkan oleh pemerintah," katanya.
Eko Maryadi menambahkan, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) selama ini melakukan pembiaran terhadap adanya pemusatan penyiaran tersebut. Padahal, hal itu jelas-jelas sebagai bentuk menyalahtafsirkan UU Penyiaran Pasal 18 Ayat (1) dan Pasal 34 Ayat (4). Penafsiran sepihak oleh badan hukum atau perseorangan dalam kedua pasal tersebut mengakibatkan adanya pemusatan kepemilikan stasiun televisi dan radio di tangan segelintir pengusaha.
"Kami berharap MK memperkuat kedua pasal tersebut agar tidak ditafsirkan serampangan. Karena dua pasal tersebut multi tafsir. Kami menginginkan industri penyiaran mematuhi pasal, dan semoga seluruh lembaga penyiaran dapat mematuhi aturan UU penyiaran," katanya.
Hasil keputusan MK, lanjutnya, akan digunakan KIDP sebagai dasar untuk menggugat lembaga penyiaran yang melakukan pelanggaran, seperti yang dilakukan PT Elang Mahkota Teknologi (EMTK) terhadap Indosiar dan beberapa perusahaan lainnya. "Kami KIDP sangat yakin bahwasannya akuisisi PT EMTK atas Indosiar dan sikap pemerintah yang membiarkan EMTK mengangkangi UU, benar-benar melanggar hukum. Karena itu, MK menjadi harapan terakhir kami untuk mengeksekusi pelanggaran itu," tegasnya.