Undang-Undang No.33 tahun 2004 khususnya Pasal 14 huruf e dan f tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dinilai sudah mengatur secara adil dan jelas mengenai hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Sehingga menciptakan hubungan keuangan yang adil, dan selaras, serta tidak terdapat ketimpangan alokasi penerimaan dan pembagian antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Demikian disampaikan oleh Perwakilan Pemerintah, K.A Badaruddin saat memberikan statement dalam Sidang Pleno pengujian undang-undang perkara No. 71/PUU-IX/2011, di Mahkamah Konstitusi, Selasa (7/12). Hadir dalam Sidang tersebut, para Pemohon yang terdiri, Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu, Luther Kombong, Bambang Susilo, dan sejumlah perwakilan dari Pemerintah.
Lanjut Badaruddin mengatakan bahwa seluruh data yang terkait dengan perhitungan penerimaan negara khususnya pada sektor migas sudah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Oleh karena itu, Sehubungan dengan perbedaan persentase pembagian realisasi dana bagi hasil migas yang disalurkan ke daerah, pemerintah berpendapat, hal tersebut tidak akan terjadi, karena proses penyaluran dana bagi hasil Sumber Daya Alam (SDA) yang di dasarkan atas realisasi penerimaan sudah sesuai dengan sumber daya alam yang dimaksud.
Berdasarkan ketentuan di atas, menurut pemerintah, kebijakan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang selama ini dilaksanakan sudah mewujudkan keadilan dan keselarasan, ”Dan hal tersebut juga didasarkan atas perundang-undangan yang mengatur hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah,” jelas Badaruddin.
Sementara itu, berkenaan dengan data perminyakan yang menjadi salah satu permohonan para Pemohon. Pemerintah berpendapat bahwa dana yang ditentukan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang disesuaikan dengan data yang dimiliki oleh pemerintah. ”Hanya pemerintah yang memiliki otoritas sepenuhnya untuk menyampaikan data-data, termasuk data kepada pihak-pihak yang berkepentingan,” tutur Badaruddin.
Ahli Pemohon
Sedangkan pada kesempatan tersebut juga didengarkan keterangan Ahli dari para Pemohon, di antaranya Mudrajad Kuncoro. Dalam keterangan yang disampaikan, ia mengatakan pada penjelasan dari pemerintah terkait dengan mengurangi kesenjangan fiskal, mendukung prioritas nasional, meningkatkan kualitas pelayanan publik. Namun, Kuncoro melihat kenyataan yang ada, terdapat dana perimbangan yang disalurkan kepada seluruh daerah di Indonesia, ”Pang paling tinggi pasti dana alokasi umum. Sedangkan untuk dana bagi hasil pasti nomor dua,” jelasnya.
Sedangkan kalau berbicara dana bagi hasil untuk SDA, lanjut Kuncoro, ternyata hanya terbesar kedua setelah dana alokasi umum. ”Oleh karena itu, saya ingin Majelis Hakim Konstitusi bisa melihat bagaimana kondisi di daerah. Karena saya melihat kondisi minyak dan gas ini yang ada di daerah, ternyata paling besar. Sementara, dari data tahun 2009 ada sebesar 40 triliun, dan itu porsinya cukup besar,” tutur Ahli Pemohon.
Perlu diketahui, dalam persidangan sebelumnya, para Pemohon mendalilkan bahwa pada Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan, terutama Pasal 14 huruf e berbunyi, ”Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan: 1. 84,5% (delapan puluh empat setengah persen) untuk Pemerintah; dan, 2. 15,5% (lima belas setengah persen) untuk Daerah”. Sedanghkan, Pasal 14 huruf f berbunyi, ”Penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan: 1. 69,5% (enam puluh sembilan setengah persen) untuk Pemerintah; dan, 2. 30,5% (tiga puluh setengah persen) untuk Daerah.”
Dalam Pasal a quo, ”frasa 84,5% untuk Pemerintah dan 15,5% untuk Daerah dan frasa 69,5% untuk Pemerintah dan 30,5% untuk Daerah, menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (1), Pasal 3 Ayat (1), Ayat (3), dan (4), Pasal 18A Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28I Ayat (2), Pasal 33, Undang-Undang Dasar 1945. (Shohibul Umam/mh)