Melihat berbagai kejadian yang terjadi akhir-akhir ini, bangsa Indonesia masih mempunyai berbagai kemajuan. Sehingga harus ada optimisme untuk kemajuan yang lebih panjang lagi. Walaupun optimis dengan sedikit demi sedikit.
Demikian disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD saat memberi sambutan tentang ”Refleksi 13 Tahun Reformasi” dalam acara Seminar Politik bertema ”Selamat Tinggal Politik Transaksional, Selamat Datang Politik Bermartabat” di Hotel Four Seasons, Selasa (6/12) Jakarta.
Acara ini diselenggarakan oleh Centre For Strategic And Internasional Studies (CSIS), dihadiri oleh sejumlah tokoh nasional, diantaranya Eksekutif CSIS Rizal Sukma, Rektor Universitas Paramadina, Anies Baswedan, dan puluhan peserta yang mengikuti acara tersebut.
Mahfud mengatakan bahwa dahulu banyak orang yang menyatakan reformasi muncul dari kampus-kampus. Namun, kalau ingin memperbaiki keadaan harus memperbaiki sistem politik, menata struktur politik, dan kuncinya adalah amandemen UUD 1945. Dahulu UUD 1945 adalah sumber dari masuknya otoriterisme kekuasaan. Namun, dahulu juga tidak boleh oleh Presiden Soekarno, berbicara terkait dengan UUD 1945, termasuk juga Presiden Soeharto. ”Kamu boleh berbicara apapun tetapi jangan berbicara tentang UUD, kecuali orang itu mau dihukum,” tutur Mahfud.
Mahfud juga menambahkan bahwa banyak orang yang mengatakan UUD 1945 dibuat terlalu terburu-buru, sehingga ngawur untuk kehidupan berbangsa kita. Akan tetapi Mahfud juga mengakui, UUD 1945 yang disahkan tidak mungkin bisa diterima oleh masyarakat, di manapun tempatnya. ”Oleh sebab itu, menetapkan UUD dengan cara sangat ketat, seperti melalui referendum dan melalui kesepakatan kuorum,” ucap Mahfud.
Dalam pernyataan Mahfud terkait dengan UUD 1945 tidak mungkin bisa disepakti oleh banyak orang, Hal senada juga disampaikan dalam pidato Presiden Soekarno. Dalam pidatonya, menurut Mahfud, UUD 1945 kita sahkan terlebih dahulu, besok kita ubah. ”Oleh karena itu, tidak mungkin semua bisa disetujui. Maka, kita dalam dunia akademik, apa yang sudah berlaku mari kita tegakkan,” ajak Mahfud.
Selain menjelaskan tentang amandemen yang terkandung dalam buku yang dibuat oleh MPR saat itu, yang terdiri dari enam hal agenda reformasi. Mahfud juga menjelaskan lima hal yang lain, di antaranya yang kedua, ”Penghapusan Dwifungsi ABRI.” Dalam hal ini, menurutnya, ABRI dinilai keluar lebih cepat yaitu tahun 2004, padahal melihat rencana semula adalah tahun 2009.
Ketiga, ”Penegakan Supremasi Hukum, Penghormatan HAM, dan Pemberantasan KKN (korupsi kolusi dan nepotisme). Kata Mahfud, Penegakkan hukum di Indonesia, sudah ada kemajuan terhadap perlindungan HAM, ”terutama instrumen hukumnya, baik dalam bentuk aturan maupun institusi-institusi perlindungan HAM itu sudah banyak,” jelasnya.
Hal tersebut, kata Mahfud, sangat berbeda dengan zaman Presiden Soeharto. Menurutnya, saat menjelang konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa, Presiden Soeharto selalu melobi supaya dalam agenda konferensi tidak membicarakan tentang pelanggaran HAM. ”Namun, walapun sekarang tidak adanya pelanggaran HAM secara terstruktur atau vertikal, tapi saat ini justru terjadi pelanggran HAM terjadi secara horisontal antara orang dan orang. Sehingga menjadi sulit, karena mereka saling tersandera,” jelas Mahfud.
Tiga agenda refomasi yang lain adalah ”Penataan Politik Hubungan Pusat dan Daerah dengan Otonomi Luas, dan Kebebasan Pers, serta Mewujudkan Kehidupan Demokrasi.” (Shohibul Umam/mh)