Uji UU Penyiaran: Panel Hakim Sahkan Alat Bukti
Kamis, 08 Desember 2011
| 08:22 WIB
Permohonan judicial review Pasal 18 Ayat (1) dan Pasal 34 Ayat (4) UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) kembali disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (7/12/2011). Sidang dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan ini dilaksanakan oleh sebuah Panel Hakim yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Harjono, didampingi dua anggota Panel Hakim Konstitusi Achmad Sodiki dan Ahmad Fadlil Sumadi.
Proses persidangan berlangsung singkat, yaitu empat menit, karena para Pemohon sudah menganggap lengkap permohonan yang diajukan. Selanjutnya Ketua Panel Harjono menyarankan para Pemohon agar menyiapkan saksi dan ahli. Terkahir, Panel Hakim mengesahkan daftar alat bukti yang diusung para Pemohon, yaitu bukti P-1 sampai P-29.
Untuk diketahui, permohonan uji konstitusionalitas Pasal 18 Ayat (1) dan Pasal 34 Ayat (4) UU Penyiaran ini diajukan oleh Wahyu Dhyatmika dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Hendrayana dari Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), Ahmad Faisol dari Media Link, Masduki dari Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), dan Christiana Chelsia Chan dari Yayasan Dua Puluh Delapan (Y28). Pasal 18 Ayat (1) UU Penyiaran menyatakan, “Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi”. Kemudian Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran menyatakan, “Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain”. Kedua materi pasal dalam UU Penyiaran tersebut menurut para Pemohon adalah bertentangan dengan dengan Pasal 28D, 28F, dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Satu badan hukum baik di tingkat induk atau anak perusahaan, atau perseorangan tidak boleh memiliki lebih dari satu izin penyelenggaran penyiaran jasa, penyiaraan televisi yang berlokasi di suatu provinsi. Para Pemohon mendalilkan, seseorang atau satu badan hukum dengan mudah membeli lembaga penyiaran sekaligus izin penyelenggaraan penyiaran. Padahal berdasarkan UU Penyiaran, izin penyelenggaraan penyiaran seharusnya dikembalikan kepada negara saat suatu badan hukum tidak mampu menyelenggarakan penyiaran lagi, atau habis jangka waktu perizinannya. Negara secara otomatis mencabut izin tersebut. Pengembalian frekuensi kepada negara bertujuan untuk mencegah adanya monopoli dalam dunia penyiaran. (Nur Rosihin Ana/mh)