Hakim Konstitusi yang juga Guru Besar Luar Biasa Ilmu Perundang-Undangan Universitas Indonesia (UI), Maria Marida Indrati memberikan ”kuliah” kepada 19 mahasiswa Fakultas Hukum UI yang bertandang ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (2/12). Maria menyampaikan materi seputar MK dan peraturan perundang-undangan dalam sistim hukum di Indonesia. Meski hanya 19 orang yang hadir dalam ”perkuliahan” kali ini, para mahasiswa aktif bertanya kepada Maria.
”Selamat datang di ’Kampus MK’,” ujar Maria membuka percakapan seraya bergurau kepada para mahasiswa yang datang dari universitas almamaternya.
Maria bergurau seperti itu karena dia memang Guru Besar Luar Biasa Ilmu Perundangan di UI. Namun, karena kesibukannya sebagai hakim konstitusi, Maria tidak sempat memberikan kuliah secara langsung di UI. ”Tidak apa-apa karena saya tidak bisa ke Depok, kita bertemu di sini saja,” lanjutnya.
Perundang-Undangan
Sebagai pengantar sebelum masuk lebih dalam membahas materi perundang-undangan, Maria memulai dengan menyatakan bahwa Pancasila bukan sumber dari segala sumber hukum. Menurutnya, Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara Indonesia. “Kalau Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum artinya sumber hukum Islam itu Pancasila dong, padahal kan seharusnya Al-Quran. Begitu juga dengan hukum adat, sumbernya hukum adat bukan Pancasila,” jelas Maria.
Penjelasan Maria diperkuat dengan isi Pasal 2 Udan Pasal 3 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Pasal 2 UU tersebut menyatakan Pancasila merupakan sumbe dari segala sumber hukum negara. Sedangkan Pasal 3 ayat (1) UU yang sama menyatakan UUD 1945 merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan.
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara disesuaikan dengan Pembukaan UUD 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara. Dengan begitu, setiap materi peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Maria juga menjelaskan mengenai hierarki peraturan perundang-undangan. Ia menjelaskan bahwa pasca terbitnya UU No. 10 Tahun 2004 itu keberadaan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) menjadi tidak jelas. Pasalnya, UU No. 10/2004 mengeluarkan TAP MPR dari hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia.
Di dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 10/2004 jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan menjadi sebagai berikut secara berturut-turut. 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Penngganti Undang-Undang, 3) Peraturan Pemerintah, 4) Peraturan Presiden, dan 5) Peraturan Daerah.
Namun, hirearki itu berubah setelah UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan diresmikan. Dalam UU Pengganti UU No. 10/2004 itu, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan menjadi, 1) UUD 1945, 2) TAP MPR, 3) UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU, 4) Peraturan Pemerintah, 5) Peraturan Presiden, 6) Peraturan Daerah Provinsi, dan 7) Peraturan Daerah Kabupaten.
Seputar MK
Maria juga sempat menjelaskan hal-hal terkait kewenangan MK sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan para mahasiswa. Maria menjelaskan bahwa ketika mengambil keputusan terhadap satu perkara, para hakim MK dapat menyampaikan disenting opinion (pendapat berbeda). “Jadi pendapat hakim MK bisa berbeda-beda terhadap satu perkara. Itu bisa disampaikan dengan disenting opinion. Tapi keputusan MK tetap satu,” ujarnya.
Maria juga menyampaikan hal lain, seperti tidak bolehnya Warga Negara Asing (WNA) mengajukan permohonan pengujian UU ke MK. “Kalau di negara lain, WNA bisa mengajukan constitutional complaint, tapi di Indonesia tidak bisa,” jelasnya.
Di akhir “kuliah”, Maria menyemangati para mahasiswa agar berani tampil dalam menggunakan kepintaran yang dimiliki para mahasiswa agar suatu saat mereka dapat menggantikan Maria menjadi Hakim Konstitusi. (Yusti Nurul Agustin/mh)