Perokok pasif adalah korban. Karena, asap rokok yang dihasilkan dari pembakaran rokok oleh perokok aktif sangat berbahaya bagi kesehatan. Apalagi, sampai saat ini, masih belum ada perlindungan hukum yang utuh terhadap hak-hak masyarakat, terutama bagi perokok pasif. Sehingga, adanya kawasan tanpa rokok adalah sebuah keharusan, bukan pilihan.
Demikian, setidaknya, inti dari keterangan ahli dan saksi yang dihadirkan oleh Pihak Terkait dalam sidang pembuktian perkara No. 57/PUU-IX/2011, Kamis (1/12), di ruang sidang Pleno MK. Hadir saat itu sebagai ahli Nani Widayani dari Dinas Kesehatan Kota Bogor, serta dua saksi, yakni: Ketua Bidang Penyuluhan dan Pendidikan Yayasan Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok Fuad Baradja dan Tulus Abadi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia.
Berdasarkan penelitian, Fuad Baradja menegaskan, ruang khusus rokok di dalam gedung tidak memberikan dampak yang signifikan untuk mengurangi efek negatif dari asap rokok. “Ruang khusus rokok dalam gedung tidak efektif,” tegasnya. Hal itu dikarenakan, pada ruang khusus rokok, arus keluar-masuknya orang tetap saja menggunakan pintu yang terhubung pada ruang yang seharusnya tidak terpapar asap rokok. Hal ini diperparah lagi jika kita berada pada bangunan yang menggunakan pendingin ruangan.
Menurut Fuad, seharusnya kalaupun dibuat ruang khusus rokok, maka letaknya adalah di luar bangunan, bukan di dalam. Meskipun, peletakan ruang khusus rokok di luar bangunan juga masih tetap berpotensi merugikan publik. “Partikel-partikel yang dikandung rokok menempel pada dinding-dinding diluar ruang rokok,” jelasnya.
Bahaya yang menghantui dalam sebatang rokok tidak main-main. Asap rokok mengandung begitu banyak racun. “Disana terdapat sedikitnya 400 senyawa kimia. Yang mana 400 jenis diantaranya merupakan kimia beracun. Bahkan, 46 jenis diantaranya merupakan zat yang bersifat karsinogenik yang menyebabkan kanker,” papar Fuad.
Pernyataan itu kemudian diamini oleh Nani dan Tulus. Nani menambahkan, berdasarkan rekomendasi WHO (World Health Organization), badan kesehatan dunia, smoking room (ruang khusus rokok) dalam ruangan tidak dianjurkan. Sebab, konsentrasi asap rokok di ruangan tetap saja masih pada tingkat yang membahayakan kesehatan.
Terkait pentingnya kawasan tanpa rokok, kata Tulus, pihaknya juga telah melakukan survey persepsi publik atas hal itu. Setidaknya ada tiga survey yang dilakukan dalam kurun waktu 2008, 2010 dan 2011. Misal pada tahun 2008, pihaknya telah melakukan jajak pendapat menggunakan metode purposive random acak terarah, dengan jumlah responden 1000 orang yang tersebar di lima wilayah di Jakarta. Terdiri dari 600 responden bukan perokok (pasif) dan 400 perokok (aktif). “Dengan 200 responden dimasing-masing area.”
Hasilnya, lanjut dia, menunjukkan dukungan yang positif terhadap adanya kawasan tanpa rokok, terutama untuk tempat-tempat publik. “87,8 persen mendukung adanya penerapan kawasan tanpa rokok di Jakarta,” ujarnya. “Bahkan, responden perokok pun memberikan dukungan yang sangat kuat yaitu, sebesar 81 persen.” Hal itu membuktikan bahwa, keberadaan kawasan tanpa rokok sangatlah penting.
Hasil itu tidak beda jauh dengan hasil-hasil jajak pendapat yang juga dilakukan oleh Dinas Kesehatan, sebagaimana diakui oleh Nani. Menurutnya, dukungan publik terhadap adanya kawasan tanpa rokok kebanyakan diatas 90 persen. Selain itu, adapula hasil penelitian yang membuat miris. Yakni hasil penelitian tentang pola belanja rumah tangga pada kelompok 20 persen masyarakat termiskin di Kota Bogor. Hasilnya menunjukkan, belanja rokok lebih besar dari belanja untuk pendidikan dan kesehatan.
Untuk sidang selanjutnya, akan digelar Selasa (20/12) siang, di Gedung MK. Rencananya, Pemohon akan menghadirkan ahli.
Untuk diketahui, Pemohon Prinsipal dalam perkara ini, yang terdiri dari Enryo Oktavian, Abhisam Demosa Makahekum, dan Irwan Sofyan, mempersoalkan Pasal 115 ayat (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sepanjang frasa “dapat” pada penjelasan pasal tersebut.
Adapun pasal tersebut berbunyi, “Kawasan tanpa rokok antara lain: a. fasilitas pelayanan kesehatan; b. tempat proses belajar mengajar; c. tempat anak bermain; d. tempat ibadah; e. angkutan umum; f. tempat kerja; dan g. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.” Sedangkan dalam penjelasannya menyebutkan, “Khusus bagi tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya dapat menyediakan tempat khusus untuk merokok.” (Dodi/mh)