Para Perwira Jajaran Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dari berbagai daerah di Indonesia mendapatkan berbagai materi dalam acara Temu Wicara bertema ”Pandidikan Pancasila, dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi bagi Perwira Jajaran Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia.” Acara yang diikuti oleh 200 Perwira tersebut, bekerjasama antara Setjen dan Kepaniteraan MK dengan Mabes Polri selama tiga hari, di Aula Dasar, Gedung MK, Jakarta, Senin-Rabu (29-1/11-12).
Dalam kesempatan tersebut, berbagai materi disampaikan para narasumber. Pemateri pertama, Wakil Ketua MK Achmad Sodiki, menyampaikan materi tentang “Hukum Progresif dan Keadilan Substantif.” Dalam makalahnya, Sodiki mengatakan bahwa konsep hukum progresif yang meniscayakan hukum harus berkembang. Oleh karena itu, menurutnya, nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat yang mencerminkan keadilan substansif harus diintegrasikan dalam bingkai nilai-nilai Pancasila, dan akhirnya mendapatkan tempat dalam bingkai ke- Bhineka Tunggal Ika-an.
Materi lain, yaitu “Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka dan Memahami Pancasila Sebagai Ideologi dan Dasar Negara.” Hal tersebut disampaikan Arief Hidayat, Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. Dalam pemaparannya, ia mengatakan bahwa prinsip dasar dalam pengelolaan negara Republik Indonesia, adalah empat hal, di antaranya pengelolaan teokrasi (kedaulatan Ketuhanan Yang Maha Esa), pengelolaan demokrasi (kedaulatan rakyat), pengelolaan nomokrasi (kedaulatan hukum), dan pengelolaan ekokrasi (kedaulatan ekonomi).
Sementara itu, Hakim Konstitusi Harjono melengkapi pemateri sebelumnya dengan materi “Perubahan UUD 1945 dan Ketatanegaraan RI Pasca Perubahan UUD 1945.” Menurutnya, sebelum UUD 1945 diamandemen, proses pembuatan UU dilakukan oleh Presiden dengan persetujuhan DPR, padahal DPR adalah lembaga legislatif. “Oleh karena itu, dahulu kita sudah melakukan dusta bersama tentang UUD 1945. karena, Presiden di samping mempunyai kekuasaan pemerintah negara dan kekuasaan negara, ia juga mempunyai kekuasaan membuat Undang-Undang (UU),” ucapnya.
Ketiga Pemateri tersebut menyampaikan pada hari pertama acara, sedangkan untuk hari kedua dan ketiga, yang menyampaikan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrarti selaku narasumber selanjutnya. Dalam kesempatan itu, ia menyampaikan materi “Hukum Acara Pengujian Undang-Undang.” Menurutnya, proses pengujian UU yang ingin diujikan di MK harus memiliki kelengkapan yaitu UU yang dimohonkan, alat bukti bisa berupa Saksi/Ahli, dan UUD 1945 sebagai batu uji-nya. ”Kalau semua itu sudah lengkap, maka akan diregistrasi di buku registrasi acara MK,” ucapnya.
Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi juga menyampaikan materi “Hukum Acara Dalam Memutus Pendapat DPR tentang Dugaan Pelanggaran Hukum oleh Presiden/Wakil Presiden.” Dalam makalahnya, ia mengatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi diberhentikan melalui mekanisme politik oleh MPR. Akan tetapi, disamping pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus melalui mekanisme politik, pemberhentian Presiden juga harus melalui mekanisme hukum.
Hakim Konstitusi berikutnya Moh. Alim yang menyampaikan materi “Hukum Acara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Hukum Acara Pembubaran Partai Politik.” Dalam hal ini, saat Moh. Alim menanggapi pertanyaan dari peserta terkait dengan seperti apa perkara yang masuk ke MK? Ia menjawab bahwa suatu perkara yang masuk dalam MK, misalnya dalam Pemilukada, atau legislatif hanya mengenai suaranya. “MK tidak berwenang mengetahui salah dan tidaknya seseorang dalam aspek pidana, demikian juga dengan aspek tata usaha-nya,” ucap Moh. Alim itu.
Dan, materi “Hukum Acara Dan Studi Kasus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan/atau Wakil Presiden, Legislatif, Kepala Daerah” disampaikan Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar. Dalam penjelasannya, ia mengatakan bahwa sengketa pemilihan presiden yang masuk ke MK harus selesai dalam 14 hari. “Semua itu dilakukan menghindari terjadinya kekosongan kalau tidak ada Presiden,” jelas Akil.
Narasumber terakhir disampaikan oleh Sekretaris Jendral MK Janedjri M. Gaffar. Dalam hal ini, Janedjri menyampaikan tentang MK: Menuju Court Excellence. Dalam isi makalahnya, ia mengatakan bahwa MK berpegang teguh dan patuh pada hukum formal sepanjang hukum formal tersebut mampu mendorong terwujudnya keadilan. Jika tidak, menurutnya, MK akan membuat terobosan dengan membuat jalan sendiri guna menciptkan dan mewujudkan hukum yang memenuhi rasa keadilan. (Shohibul Umam/mh)