Hingga kini pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu Legislatif tak kunjung usai. Target bisa selesai pada September lalu sudah terlampaui. Hingga kini belum ada tanda-tanda bakal selesai. Sejumlah pasal krusial masih menjadi barang alot. Hal ini tentu saja mengkhawatirkan. Ada kemungkinan akan mengulang Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. DPR baru menyelesaikan legislasi pemilu di waktu yang sudah mepet dengan pelaksanaan pemilu. Hal itu menjadikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menjadi korban. Pada ujungnya, kualitas pelaksanaan pemilu tak sesuai harapan.
Hal-hal krusial yang hingga kini tak kunjung terselesaikan adalah, pertama, penetapan batas parliamentary threshold (PT). Kedua, jumlah daerah pemilihan atau juga bisa disebut sebagai besaran daerah pemilihan. Ketiga, teknik menghitung suara untuk dikonversi menjadi kursi. Keempat, memperlakukan sisa suara: habis di dapil atau ditarik hingga ke tingkat provinsi bahkan ke tingkat nasional. Kelima, apakah batasan PT berlaku untuk semua tingkatan atau tiap jenjang memiliki batas PT tersendiri. Keenam, apakah memberlakukan open list atau close list untuk calon anggota parlemen.
Enam poin inilah yang paling krusial. Karena hal-hal tersebut akan menentukan postur sistem politik Indonesia ke depan. Hal itu juga akan menentukan masa depan Indonesia itu sendiri. Jika kita tak hati-hati dan jernih dalam menentukan pilihan-pilihan terhadap enam poin krusial itu, kita akan memperjudikan nasib kita secara tidak bertanggung jawab. Inilah justru yang kita khawatirkan. Apalagi, partisipasi publik dalam proses legislasi tak semeriah pada pembahasan aturan yang sama baik untuk Pemilu 2004 maupun 2009. Pada sisi lain, kualitas cerdik pandai kita makin merosot. Selain dunia akademis sedang terhinggapi virus pragmatisme dan kapitalisme sempit, juga sebagian akademisi lebih suka mengejar materi sehingga terperangkap pada power play para politikus. Mereka menjadi intelektual tukang.
Tentu sangat berbahaya membiarkan proses legislasi ini menjadi wilayah politikus saja. Kita bukan tak percaya pada dunia politik, tapi kita sedang tak percaya pada kualitas dunia politik. Jika kita membaca dokumen-dokumen proses legislasi kita di era reformasi ini, kualitasnya sangat jauh dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Apalagi jika dibandingkan dengan kualitas perdebatan di masa PPKI dan BPUPKI. Padahal, saat itu hanya ada sedikit doktor. Namun, para otodidak itu merupakan orang-orang yang tekun, profesional, dan sangat bertanggung jawab. Para founding fathers kita memang orang-orang yang luar biasa.
Ada kekhawatiran bahwa sejumlah pasal krusial itu hanya menjadi ajang barter belaka. Persis seperti yang diutarakan Mahfud MD, ketua Mahkamah Konstitusi. Mereka mempertukarkan pasal-pasal itu sesuai dengan kepentingannya masing-masing belaka. Sehingga tak heran jika kemudian pasal-pasal itu bertabrakan dengan konstitusi. Selain itu, barter pasal itu sangat pragmatis. Sama sekali tak memperhitungkan desain bangunan sistem politik. Tak heran jika kemudian perundangan yang dilahirkan jauh dari naskah akademisnya.