Padang, Padek—Perbedaan pendapat antara BPK dan Pemerintah (Kementerian Keuangan), tentang perlunya persetujuan DPR dalam divestasi pemerintah terhadap 7 persen saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT), disarankan melakukan pengujian UU Nomor 17 Tahun 2003 dan UU Nomor 1 Tahun 2004 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal itu dimaksudkan agar ada satu aturan atau ketentuan yang jelas soal pengelolaan keuangan negara, yang bisa menjadi pegangan bagi pihak berbeda pendapat. Munculnya beda penafsiran ini, karena dalam audit BPK yang sedang berlangsung mengharuskan divestasi melalui persetujuan DPR. Dalam hal ini menyangkut pasal 24 ayat 7 UU Nomor17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Disebutkan, dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR.
Sementara, dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, pasal 41 ayat 4 menyebutkan penyertaan modal pemerintah pusat pada perusahaan Negara/ daerah/ swasta ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Pakar hukum tata Negara, Saldi Isra mengungkapkan, jika penganggaran ini melalui mekanisme RAPBN berarti telah disetujui bersama oleh DPR. Maka, untuk pelaksanaan lebih lanjut tidak perlu persetujuan DPR lagi. Karena eksekusinya berada di tangan pemerintah. Lebih lanjut, dikatakan Saldi, bila tetap dilakukan dengan persetujuan DPR juga, maka akan ada persetujuan berlapis, yang mengindikasikan ada upaya DPR untuk ikut dalam hal-hal eksekusi. Berarti akan melemahkan fungsi pengawasan yang dimiliki DPR.
”Jangan-jangan, mereka juga ingin ambil bagian dalam proyek-proyek pemerintah,” katanya dalam Seminar dan Workshop Divestasi Saham PT Newmont Nusa Tenggara oleh Pemerintah RI, yang diadakan Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Unand, di Mercure Hotel, Padang, kemarin.
Pengajuan pengujian undang-undang tersebut ke MK, dianggap Saldi sebagai langkah awal untuk membuat perhitungan dengan perusahaan besar. Kalau pemerintah gagal akan sulit menjangkau perusahaan besar lainnya yang menguras kekayaan alam milik negara, sehingga kedaulatan ekonomi dalam pasal 33 UUD 45 belum bisa diwujudkan.