Keberadaan unsur eksternal dalam komposisi Badan Kehormatan (BK) di parlemen sangat penting. Sebab, unsur eksternal, kemungkinan besar, dapat memberikan pandangan serta penilaian yang lebih fair dan akuntabel terhadap persoalan yang sedang ditangani oleh BK. Dengan catatan, pihak luar tersebut tidak terpengaruh atau terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan politik yang melingkupinya.
Demikian hal itu dinyatakan oleh Ikrar Nusa Bhakti salah satu ahli yang dihadirkan Pemohon dalam sidang perkara No. 59/PUU-IX/2011, Selasa (29/11) di ruang sidang Pleno MK. “(Anggota BK) jangan sampai masuk angin,” tegasnya.
Menurut Ikrar, unsur eksternal tersebut bisa saja dari akademisi, agamawan, wartawan, atau pihak lain yang dianggap mampu dan kredibel mengemban tugas sebagai anggota BK. Dalam hal ini, BK yang dimaksud adalah BK pada DPR, DPD, maupun DPRD sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 27/2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).
Andrinof A. Chaniago, ahli lainnya yang dihadirkan oleh Pemohon, juga membenarkan hal itu. Menurutnya, saat ini, lembaga dewan (parlemen) di Indonesia perlu pembenahan dalam hal sistem kelola institusi. “Perbaikan sistem pengawasan sangat perlu untuk memperbaiki kinerja dewan,” ungkapnya. “Perlu ada sistem kelola yang baik agar berjalan efektif dan memberikan hasil yang optimal.”
Oleh karenanya, lanjut dia, pelanggaran-pelanggaran etik yang terjadi di institusi dewan harus ditindak secara objektif dan independen. Dan untuk mewujudkan sistem pengawasan yang ideal tersebut, maka perlu dimasukkan unsur eksternal (baca: bukan anggota dewan) dalam komposisi BK. Jumlahnya pun harus lebih dominan dibandingkan anggota yang berasal dari internal.
Bahkan, dalam keterangan ahlinya, Andrinof sempat menyinggung tuntutan pembentukan Komite Etik. “Perlu untuk mewujudkan tata kelola publik yang baik,” tukasnya. “Menegakkan norma dan etika tidak boleh jadi orang yang akan diawasi. Jadi, nantinya tidak ada benturan kepentingan.”
Menjawab pertanyaan Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, yang menanyakan bahwa bukankah keanggotaan majelis kehormatan memang biasanya dari orang seprofesi saja adalah suatu kewajaran. Dengan alasan, yang mengetahui kode etik profesi tertentu adalah orang yang memang sehari-harinya bekerja dalam bidang tersebut saja. Akibatnya, dia bersifat eksklusif.
Andrinof mengatakan, hal itu merupakan pandangan yang keliru. Menurutnya, dewan bukanlah organisasi profesi. Dia merupakan lembaga publik. Oleh sebab itu, dia bertanggungjawab kepada publik. “Tidak bisa disamakan (dengan profesi lainnya),” tuturnya. Sedangkan Ikrar menegaskan, “DPR itu bukan suatu yang eksklusif,” katanya. Apalagi, ini adalah berurusan dengan politik. Kecenderungan politisi atau pemegang kuasa adalah menyalahgunakan kekuasaan.
Untuk sidang selanjutnya, akan digelar Kamis (15/12) di Gedung MK. Rencaannya, Pemohon akan menghadirkan dua orang ahli lagi, yakni Adnan Buyung Nasution dan J. Kristiadi.
Sebelumnya, dalam perkara ini Pemohon menguji Pasal 123, Pasal 124 ayat (1), Pasal 234 ayat (1) huruf f, Pasal 245 ayat (1), Pasal 302 ayat (1) huruf f, Pasal 353 ayat (1) huruf f, Pasal 208 ayat (2), Pasal 277 ayat (2), Pasal 327 ayat (2), dan Pasal 378 ayat (2) UU No. 27/ 2009. Pemohonnya adalah Judilherry Justam, Chris Siner Key Timu, dan Muhammad Chozin Amirullah.
Mereka beranggapan bahwa penegakan etika oleh BK di parlemen yang tidak melibatkan unsur dari masyarakat, berpotensi conflict of interest dan penyalahgunaan kekuasaan oleh anggota DPR, DPD maupun DPRD. Sehingga, BK yang hanya terdiri dari anggota dewan adalah bertentangan dengan Konstitusi. Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa rumusan pelarangan rangkap jabatan dalam UU MD3 juga masih belum jelas dan berpotensi merugikan. (Dodi/mh)