Sidang lanjutan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (29/11). Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 68/PUU-IX/2011 ini dimohonkan oleh Bambang Supriyanto (Pemohon I), Max Boli Sabon (Pemohon II), Eddie I. Doloksaribu (Pemohon III), Ari Lazuardi Pratama (Pemohon IV), Andriko Sugianto Otang (Pemohon V) serta Muhammad Anshori (Pemohon VI).
Dalam sidang yang mengagendakan mendengar keterangan Pemerintah, Mualimin Abdi selaku wakil pemerintah, menjelaskan bahwa Pemohon IV, Pemohon V dan Pemohon VI tidak memiliki legal standing. Para Pemohon tersebut masih bergelar Sarjana Hukum dan memungkinkan untuk mendapat gelar Magister Hukum ataupun doktor dalam bidang hukum. “Sehingga Pemohon IV, Pemohon V dan Pemohon VI tidak mempunyai legal standing dan tidak ada hak konstitusional Pemohon yang terhalangi maupun dirugikan dengan syarat dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf b,” jelasnya.
Selain itu, Mualimin juga menjelaskan tidak ada hubungan kausalitas mengenai latar belakang pendidikan hakim konstitusi terhadap putusan MK. Menurut Mualimin, hakim konstitusi periode pertama ada dua orang yang bergelar Sarjana Hukum, yakni Soedarsono dan Roestandi. “Tapi terbukti, tidak ada hubungan kausalitas dengan putusan yang dikeluarkan,” katanya.
Mualimin memaparkan, ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf b justru memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menjadi hakim konstitusi dan diharapkan hakim konstitusi tidak hanya terbatas pada sarjana hukum saja. “Persyaratan latar belakang pendidikan calon hakim konstitusi yang linier maupun tidak linier merupakan kebijakan politik (open legal policy) pembentuk undang-undang. Untuk itulah, Pemerintah meminta kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk menolak ataupun tidak dapat menerima permohonan Pemohon. Kemudian, frase ‘… (b) berijazah doktor dan magister dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum’ tidak perlu ditafsirkan yang lainnya,” urainya.
Sementara itu, Pemohon yang menanggapi pernyataan Pemerintah mengungkapkan Hakim Konstitusi memiliki tanggung jawab yang berat, tak hanya mengawal konstitusi (guardian of constitution), tetapi juga mengawal negara dan Pemerintah melalui salah satu kewenangannya mengenai pemakzulan. “Untuk itu, jika hakim konstitusi diduduki oleh orang yang tidak berkompeten, maka tidak hanya membahayakan presiden dan wakil presiden, namun juga akan membahayakan stabilitas politik negara,” paparnya.
Menanggapi hal tersebut, Ketua MK Moh. Mahfud MD mempertanyakan mengenai fakta bahwa founding fathers berasal dari latar belakang pendidikan. “Penemu konstitusi kita justru memiliki latar belakang pendidikan sebagai insinyur, ya Ir. Soekarno. Yang berlatar belakang pendidikan di bidang hukum hanya Radjiman, Soepomo, dan lainnya. Lantas, kenapa hakim konstitusi tidak bisa?” Tanya Mahfud.
Bambang Supriyanto yang mewakili Pemohon mengungkapkan bahwa latar pendidikan yang berbeda di antara para founding fathers diperlukan mengingat situasi politik saat itu.
Dalam pokok permohonannya, para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 15 ayat (2) huruf b UU MK bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28H ayat 1. Pasal tersebut mensyaratkan calon hakim konstitusi berijazah doktor dan magister dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum. “Pasal 15 ayat (2), huruf b UUMK tidak mendukung untuk dapat diperolehnya hakim konstitusi yang mempunyai bobot dan kualitas sebagai “pengawal konstitusi” yang handal, tidak mendukung untuk dapat diperolehnya hakim konstitusi yang mempunyai bobot dan kualitas sebagai “pengawal konstitusi” yang andal,” dalil Pemohon. (Lulu Anjarsari/mh)