Mahkamah Konstitusi (MK) menyidangkan perkara Pengujian Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) terhadap UUD 1945, Rabu (16/11). Sidang ketiga kali ini beragendakan mendengarkan keterangan Pemerintah dan keterangan saksi atau ahli dari Pemohon.
Sidang perkara No. 59/PUU-IX/2011 ini yang dimohonkan oleh Judilherry Justam, Chris Siner Key Timu, dan Muhammad Chozin Amirullah kali ini dipimpin oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki. Sidang pleno ini juga beranggotakan tujuh orang hakim, yaitu Hamdan Zoelva, Anwar Usman, M. Akil Mochtar, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, dan Muhammad Alim.
Hadir dalam persidangan kali ini tiga orang kuasa hukum Pemohon, yaitu Firman Wijaya, Gatot Goe, dan A.H. Wakil Kamal. Pihak Pemohon pada persidangan kali ini menghadirkan tiga orang ahli dan satu orang saksi. Rhenald Kasali, Rocky Gerung, dan Fadjrul Falah hadir selaku ahli dari Pemohon. Sedangkan Permadi (mantan anggota DPR) dihadirkan sebagai saksi Pemohon.
Seperti biasa, Mualimin Abdi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia hadir mewakili Pihak Pemerintah. Hadir pula Sabnikmat Nizam (Kementerian Dalam Negeri), Endang Kusmayadi (Kementerian Dalam Negeri), Erma Wahyuni (Kementerian Dalam Negeri), Heni Susila Wardoyo (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia), dan Wahyu Chandra (Kementerian Dalam Negeri) menemani Mualimin dalam persidangan kali ini.
Endang Kusumayadi di awal sidang membacakan keterangan Pemerintah atas permohonan Pemohon. Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa pengaturan mengenai sifat dan keanggotaan Badan Kehormatan (BK) DPR, DPD, dan DPRD yang menempatkan BK DPR menjadi alat kelengkapan DPR menyebabkan BK DPR tidak berada pada posisi yang independent dalam menyelesaikan perkara-perkara pelanggaran etik, Pemerintah menganggap para Pemohon dalam permohonannya tidak menjelaskan secara nyata dan spesifik mengenai kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional atas berlakunya undang-undang tersebut.
Selain itu, Pemerintah juga menganggap Para Pemohon tidak mendapat kerugian atas UU MD3 itu karena ketentuan tersebut mengatur mengenai susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, sedangkan para Pemohon bukanlah anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD. ”Selain itu, Para Pemohon dalam permohonannya semata-mata menguraikan berdasarkan asumsi, bukan berdasarkan fakta,” ujar Endang.
Ahli Pemohon
Ahli Pemohon pertama yang menyampaikan keterangannya, yakni Rhenald Kasali. Ia mengatakan keadilan sejatinya bukan hanya harus ditegakkan dalam sharing the wealth atau distributing the wealth, melainkan harus dimulai dari sumbernya, yaitu bebasnya para pejabat publik, termasuk wakil-wakil rakyat, dari conflict of interest.
Lebih lanjut, Kasali mengatakan conflict of interest terjadi ketika seseorang terlibat dalam beberapa kepentingan yang mengakibatkan seseorang harus mengorbankan dan berpotensi korupsi bagi kepentingan lainnya. “Kepentingan yang dikorbankan itu menjadi sorotan, terutama dalam area pekerjaan publik, dimana seorang pejabat atau pengemban tugas publik tidak mampu memisahkan antara kepentingan personal atau pribadinya dengan kepentingan publik, yaitu rakyat,” jelas Kasali.
Kasali juga mengatakan Pasal 124 UU MD3 telah membuat lembaga legislatif gagal melakukan self correction. Padahal, masih ujar Kasali, self correction diperlukan untuk menjaga intergritas dan kehormatan anggota sendiri. Sedangkan BK yang hanya terdiri dari kelompok-kelompok yang sama dengan orang yang melanggar etika hanya akan mempersulit geraknya sendiri dalam memperbarui dan membersihkan diri dari persoalan-persoalan serius yang dihadapinya. “Hal ini terbukti dari gagalnya Badan Kehormatan DPR menangani sejumlah anggotanya yang diadukan masyarakat karena persoalan-persoalan serius pelanggaran etika. Dan mempunyai banyak sekali catatan kejadian yang tidak bisa diselesaikan oleh Badan Kehormatan karena terdiri dari orang-orang dari fraksi dan dari komunitas yang sama,” tegas Kasali.
Saksi Pemohon
Saksi Pemohon yang juga mantan anggota DPR, Permadi, menyampaikan kesaksian atas keanggotaannya di DPR pada rentang waktu 1999- 2008. Permadi yang juga pernah menjabat sebagai wakil ketua BK DPR mengatakan BK DPR sudah tidak terhormat lagi sehingga ia memilih untuk mengundurkan diri. ”Badan Kehormatan menjadi tidak terhormat lagi, diintervensi oleh Ketua DPR dan mereka bersedia menerima intervensi itu,” ungkapnya.
Permadi juga mengungkapkan bahwa ketika ia menjadi anggota DPR biasa, bukan anggota BK, ia merasa betapa sulitnya anggota DPR dibawa ke depan BK. Meski banyak pelanggaran-pelanggaran kode etik maupun tata-tertib DPR, BK DPR kala itu membiarkan saja dan Ketua DPR pun membiarkannya. ”Contohnya, ada peraturan yang mengatakan bahwa apabila seorang anggota tidak hadir dalam rapat sejenis sebanyak tiga kali berturut-turut, maka dapat dikenakan tindakan indisipliner. Di komisi saya, Komisi I, ada beberapa anggota yang absennya penuh, padahal tidak terlihat hadir di rapat, entah siapa yang menandatangani karena tata-tertib anggota DPR menyatakan dilarang ditandatangani oleh siapa pun, kecuali anggota DPR sendiri,” papar Permadi.
Permadi juga mengungkap adanya pelanggaran berupaka praktik pornografi dan memutuskan UUD padahal hanya 30 atau 40 orang anggota DPR yang hadir. ”Sepertinya ada kesepakatan tidak tertulis bahwa kalau tidak tertangkap basah atau melakukan pelanggaran yang sangat-sangat berat, Badan Kehormatan tidak bersedia merundingkan atau membahas kesalahan anggota-anggota itu di dalam Badan Kehormatan.,” tukasnya. (Yusti Nurul Agustin/mh)