Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan Indonesia bukanlah negara agama, apalagi negara sekuler, melainkan sebagai negara Pancasila. Dalam negara Pancasila, semua agama dilindungi tetapi tidak diberlakukan satu agama.
Mahfud mencontohkan negara Azerbaijan dan Kazakhtan sebagai pecahan dari negara Rusia, mengenai toleransi pemerintah dua negara tersebut begitu tinggi terhadap warga negaranya.
“Mereka itu sangat tolerans terhadap pemeluk agama apa pun, tidak ada kekerasan antara pemeluk beragama,” ungkap Mahfud pada “Semiloka Pendidikan Pancasila dan Konstitusi bagi Guru Pendidikan Kewarganegaraan (Pkn) Berprestasi Tingkat Nasional 2011” kerjasama MK dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Kementerian Agama, pada Kamis (24/11) malam di Jakarta.
Mahfud kemudian menjelaskan makna dari Persatuan Indonesia sebagai sila ketiga Pancasila.
“Bangsa Indonesia akan bersatu dalam perbedaan beragama, bersatu karena memiliki rasa kemanusiaan. Selain itu, bangsa Indonesia bersatu untuk keadilan,” ungkap Mahfud.
Lebih lanjut Mahfud menekankan, Pancasila merupakan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, ia tidak setuju bahwa Pancasila merupakan salah satu dari Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.
“Menurut saya, Pancasila itu merupakan fundamen kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila merupakan kaidah negara yang fundamental, bukan sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara,” tambah Mahfud.
Selain itu, sambung Mahfud, Pancasila tidak dapat berubah. Berbeda dengan Konstitusi yang pada suatu waktu dapat mengalami perubahan.
“Oleh sebab itu, adanya rencana dan gagasan Mahkamah Konstitusi membentuk Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi sebagai langkah yang tepat,” ucap Mahfud.
Hal lain, Mahfud menjelaskan Indonesia adalah negara demokrasi, sekaligus negara nomokrasi. Demokrasi bisa menjadi anarki kalau tidak ada hukum. Sebaliknya, kalau hukum tidak dilaksanakan secara demokratis, akan sewenang-wenang.
“Demokrasi sebagai bagian dari sistem politik, harus berjalan dengan nomokrasi. Kalau hukum lemah, aparat penegak hukum dilawan, orang akan bikin hukum sendiri. Sebaliknya kalau hukum tanpa demokrasi, akan menimbulkan sikap otoriter, hukumnya menjadi sangat sentralistik,” imbuh Mahfud.
Selain Ketua MK, acara “Semiloka Pendidikan Pancasila dan Konstitusi bagi Guru PKn Berprestasi Tingkat Nasional Tingkat Nasional 2011” juga menampilkan sejumlah narasumber untuk empat sesi. Narasumber Hakim Konstitusi Dr. Harjono, S.H. MCL. tampil dengan materi pembahasan “Kekuasaan Kehakiman: Mahkamah Konstitusi dan Penyelenggaraan Peradilan Menurut UUD 1945”.
Narasumber lainnya adalah Prof. Dr. Saldi Isra yang menyajikan materi “Pemilihan Umum, Lembaga Permusyawaratan dan Perwakilan Menurut UUD 1945 (Implementasi Demokrasi di Indonesia)” maupun narasumber Prof. Dr. Arief Hidayat dengan materi “Pancasila sebagai Ideologi Terbuka dan Memahami Pancasila sebagai Ideologi dan Dasar Negara”. Di samping itu, ada narasumber Prof. Dr. Soedijarto dengan materi “Strategi Pengembangan Pendidikan Pancasila dan Konstitusi”.
(Nano Tresna A.)