Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang ketiga perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011 terhadap UUD 1945, Kamis (17/11). Sidang yang dimohonkan oleh Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) dkk kali ini beragendakan mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR, dan Saksi/Ahli dari Pemohon dan Pemerintah. Namun, persidangan kali ini wakil dari DPR tidak hadir dalam sidang yang diketuai Wakil Ketua MK Achmad Sodiki.
Sidang Pleno kali ini beranggotakan delapan hakim konstitusi, yaitu Ahmad Fadlil Sumadi, Muhammad Alim, Harjono, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, Anwar Usman dan Hamdan Zoelva. Hadir dari Pihak Pemohon, yaitu Gunawan, Yuna Farhan, Abdul Waidi, dan Dani Setiawan selaku Pemohon prinsipal. Hadir pula kuasa hukum Pemohon, yaitu Janses E. Sihaloho, Ridwan Darmawan, Muhamamad Taufkim Muji, Anton Pebrianto, dan Dedi Debi Sinaga. Pihak Pemohon pada persidangan kali ini juga menghadirkan empat orang ahli, yaitu Ahmad Erani Yustika (Guru Besar Ilmu Ekonomi Kelembagaan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya), Revrisond Baswir (Pengamat Ekonomi dari UGM), Henry Thomas Simarmata, dan Dian Simatupang.
Sedangkan dari Pihak Pemerintah yang hadir kali ini, yaitu Mualimin Abdi (Kementerian Hukum dan HAM), Ari Wahyuni (Kementerian Keuangan), Indra Surya (Kementerian Keuangan), Herry Purnomo (Kementerian Keuangan), dan Purwiyanto (Kementerian Keuangan).
Herry Purnomo mendapat kesempatan awal sidang untuk menyampaikan keterangan dari pihak Pemerintah atas permohonan Pemohon. Herry membacakan bahwa pemerintah menganggap permohonan Pemohon telah keliru, tidak jelas, tidak fokus atau obscuur libel, terutama dalam mengonstruksikan adanya pertentangan antara undang-undang dengan UUD 1945.
“Permohonan para Pemohon tidak jelas atau obscuur libel karena Para Pemohon tidak dapat menunjukkan secara jelas pada bagian mana ataupun dalam ketentuan pasal mana Undang-Undang APBNP 2011 yang telah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,” ujar Herry.
Ketidakjelasan yang dimaksud Pemerintah terletak pada anggaran pembangunan gedung DPR RI, anggaran studi banding anggota DPR RI, dan anggaran pembelian pesawat kepresidenan yang dipersoalkan Pemohon. Seperti yang diutarakan Harry, Pemerintah menganggap Pemohon tidak menunjukkan ketentuan dalam Undang-Undang APBNP 2011 yang telah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Ahli Pemohon
Ahli Pemohon yang pertama menyampaikan keterangannya, yaitu Ahmad Erani Yustika. Ia menjelaskan bahwa sebenarnya Pemerintah memiliki dua instrumen penting untuk menggerakkan dan mengatur perekonomian, yakni lewat kebijakan fiskal melalui APBN dan kebijakan moneter. Sejak tahun 1999, lanjut Erani, kebijakan moneter menjadi kewenangan Bank Indonesia. Karena itulah, meskipun pemerintah dalam beberapa aspek masih mungkin untuk mempengaruhi kebijakan moneter, tetapi dengan melihat ruang yang ada, kebijakan yang sepenuhnya menjadi kendali pemerintah itu adalah kebijakan fiskal, dalam hal ini lewat APBN.
Oleh karena itu, menurut Erani, pemerintah memiliki kesempatan yang sangat baik untuk betul-betul memanfaatkan kebijakan fiskal ini untuk dua kebutuhan pokok. Pertama, menjalankan amanat konstitusi yang bisa dirujuk dari Undang-Undang Dasar 1945 atau pun undang-undang lain yang mencoba mengoperasionalkan substansi dari Konstitusi. Kedua, dalam formulasi penyusunan APBN, di samping menjalankan amar konstitusi, pengalokasiannya juga harus betul-betul mencermati kebutuhan masyarakat yang diperkirakan muncul pada saat APBN itu dijalankan.
“Terdapat tiga fungsi pokok dari APBN yang harus dijalankan, yaitu fungsi stabilisasi, fungsi alokasi, dan fungsi distribusi. Ketiga itu harus dijalankan secara proporsional sesuai dengan amanat konstitusi maupun kebutuhan masyarakat,” ujar Erani.
Erani juga menegaskan bahwa tidak benar bahwa negara yang menganut ekonomi pasar memiliki peran yang kurang untuk memenuhi kebutuhan penduduknya. Dengan situasi APBN yang terbatas yang dimiliki Indonesia sebagai bukan negara penganut ekonomi pasar, dibutuhkan kecerdasan dan kecermatan dari pemerintah untuk bisa betul-betul menjadikan ABPN sebagai instrumen stabilisasi, alokasi, maupun distribusi. (Yusti Nurul Agustin/mh)