Meskipun Mahkamah Konstitusi meyakini bahwa tindakan politik uang dan keberpihakan aparat pemerintahan memang terjadi dalam skala tertentu dan menguntungkan masing-masing pihak, baik Pihak Terkait maupun Pemohon, namun Mahkamah, khususnya terhadap dalil Pemohon, tidak menemukan adanya pelanggaran Pemilukada yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif dalam Pemilukada Provinsi Banten Tahun 2011.
Demikian hal tersebut dinyatakan oleh Mahkamah dalam putusan perkara nomor 114/PHPU.D-IX/2011. “Permohonan Pemohon tidak terbukti menurut hukum,” ucap Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD saat membacakan konklusi putusan dalam sidang pembacaan putusan, Selasa (22/11) sore, di Ruang Sidang Pleno MK.
Perkara tersebut dimohonkan oleh Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Banten Nomor Urut 2, Wahidin Halim - Irna Narulita. Adapun sebagai Pihak Terkait dalam perkara ini adalah Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Terpilih, Ratu Atut Chosiyah - Rano Karno.
“Bahwa dalil-dalil mengenai politik uang, intimidasi, perusakan, kekerasan, dan lain sebagainya telah ternyata ada dan terjadi, namun tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perolehan suara masing-masing pasangan calon,” tulis Mahkamah dalam putusan setebal 467 halaman itu.
Oleh karenanya, menurut Mahkamah, meskipun semua hal tersebut tidak berpengaruh atas peringkat perolehan suara sehingga tidak dapat mengubah hasil pemilukada. Namun, Mahkamah mengingatkan, persoalan-persoalan tersebut tetap dapat –bahkan harus– diteruskan kepada aparat yang berwajib. “Untuk selanjutnya diajukan ke pengadilan umum sebagai perkara pidana, baik tindak pidana umum maupun tindak pidana korupsi,” tegas Mahkamah.
Penindakan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi, baik pelanggaran terhadap ketentuan Pemilukada maupun terhadap ketentuan perundang-undangan secara umum, lanjut Mahkamah, harus dilakukan agar tidak terulang lagi hal-hal yang sama di masa depan. Sekaligus sebagai pendidikan politik bagi pasangan calon, pemilih, aparat pemerintah, dan penyelenggara Pemilukada. “Demokrasi bukan sekadar pemungutan dan rekapitulasi suara, melainkan kebebasan masyarakat pemilih untuk menyuarakan pilihannya tanpa disertai intimidasi, paksaan, dan kekerasan, baik secara ekonomi, sosial, maupun politik,” ingat Mahkamah.
Begitu pula terhadap dalil-dalil Pemohon lainnya, antara lain terkait Permasalahan Daftar Pemilih Sementara dan Daftar Pemilih Tetap, keberpihakan penyelenggara Pemilukada, kesalahan cetak Formulir C1 dan C2 KWK, dan penggunaan software yang menguntungkan pasangan calon tertentu, menurut Mahkamah juga tidak terbukti.
Salah Objek
Sementara itu, terhadap dua permohonan lainnya, yakni perkara nomor 115/PHPU.D-IX/2011 yang dimohonkan oleh Pasangan Calon Nomor Urut 3, Jazuli Juwaini - Makmun Muzakki dan perkara nomor 116/PHPU.D-IX/2011 yang dimohonkan oleh Bakal Pasangan Calon, Dwi Jatmiko - Tjejep Mulyadinata, Mahkamah berpendapat objek permohonan Pemohon salah. Sehingga, Mahkamah pun menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. “Mengabulkan Eksepsi Termohon dan Pihak Terkait,” ujar Mahfud.
Menurut Mahkamah, kedua permohonan itu tidak mempersoalkan objek permohonan sesuai ketentuan yang berlaku. “Permohonan Pemohon salah objek (error in objecto) dan tidak memenuhi syarat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) UU 32/2004 sebagaimana diubah terakhir dengan UU 12/2008 dan Pasal 4 PMK 15/2008, sehingga eksepsi Termohon dan Pihak Terkait tentang salah objek tersebut beralasan menurut hukum.” (Dodi/mh)