Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang (PUU) No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terhadap UUD 1945, Selasa (15/11). Perkara bernomor 78/PUU-IX/2011 ini disidangkan untuk pertama kalinya dengan agenda pemeriksaan pendahuluan.
Sidang yang dipimpin Ketua Panel Hakim Harjono dan didampingi oleh Achmad Sodiki dan Ahmad Fadlil Sumadi dihadiri oleh tiga orang perwakilan dari pemohon. Ketiganya, yaitu Hendrayana dari Lembaga Bantuan Pers, Umar Idris dari Aliansi Jurnalis Independen, dan Alvon Kurnia Palma dari Lembaga Bantuan Pers.
Hendrayana menjelaskan pokok permohonan Pemohon. Ia menjelaskan jika suatu media menggunakan public domain, maka regulasi yang diterapkan untuk media tersebut haruslah sangat ketat.
“Ketika seseorang atau suatu badan hukum telah diberi spektrum frekuensi radio untuk jasa televisi dan radio, siaran sebagai public domain, maka sebenarnya ia telah diberi hak penyelenggaraan penyiaran oleh negara. Untuk menggunakannya dalam kurun waktu tertentu di suatu wilayah, siaran tertentu, dan tidak boleh dipindah tangankan kepada orang atau badan hukum lain, sekalipun berada dalam holding company,” papar Hendraya.
Hendrayana melanjutkan bahwa ada beberapa alasan penting mengapa media yang menggunakan public domain mempunyai perbedaan dengan media yang tidak menggunakan public domain. Pertama, karena media tersebut menggunakan public domain yang merupakan barang publik sehingga penggunaannya harus diatur secara ketat dan ditujukan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Selain itu, media penyiaran radio dan televisi memiliki sifat meluas dan tersebar secara cepat ke ruang-ruang keluarga. “Ketika seseorang membaca koran misalnya, maka kontrol atas apa yang dia baca dan di mana membacanya akan sangat tergantung kepada si pembaca. Namun, media-media yang menggunakan public domain karena sifatnya yang menyebar dan meluas itu, muatan isi media tersebut hampir tidak bisa dikontrol oleh audience-nya,” jelas Hendrayana.
Alfon Kurnia Palma kemudian melanjutkan penjelasan rekannya. Ia mengatakan, pihaknya pada prinsipnya memohon tafsir konstitusional terhadap Pasal 18 dan Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D, 28F, dan Pasal 33 UUD 1945.
”Jadi, pada prinsipnya pada saat ini kita meminta kepada Majelis Hakim untuk memberikan tafsir konstitusional terhadap pelaksanaan terhadap Pasal 18 ayat (1), Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran,” tegas Alfon.
Alfon melanjutkan, pasal-pasal tersebut dapat dinyatakan konstitusional bila ditafsirkan sebagai suatu badan hukum apa pun di tingkat manapun (induk) atau anak perusahaan, atau perseorangan, tidak boleh memiliki lebih dari satu izin penyelenggaran penyiaran jasa penyiaraan televisi yang berlokasi di suatu provinsi.
Sedangkan Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran, diminta ditafsirkan sebagai segala bentuk pemindahtanganan IPP dan penguasaan dan/atau kepemilikan lembaga penyiaran dengan cara dijual, dialihkan kepada badan hukum lain atau perseorangan lain di tingkat mana pun, induk atau anak perusahaan, bertentangan dengan UU Penyiaran. (Yusti Nurul Agustin/mh)