Mahkamah Konstitusi RI baru dibentuk setelah perubahan UUD 1945 pada 1999-2002. Hasil perubahan UUD 1945 mengakibatkan perubahan-perubahan yang cukup mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
“Sebelum perubahan UUD 1945, MPR disebut sebagai lembaga tertinggi negara. Kemudian ada lembaga tinggi negara seperti Presiden, DPR, MA, dan lainnya. Berdasarkan perubahan UUD 1945, kualifikasi lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara sudah tidak ada dan dihapus. Sekarang semua lembaga negara kedudukannya sederajat dan fungsi-fungsinya ditentukan dalam UUD 1945,” ungkap Peneliti MK Fajar Laksono Soeroso kepada para siswa MTs Negeri Babadan Baru, Sleman, Yogyakarta pada Jumat (18/11) pagi di Gedung MK.
Terkait kekuasaan kehakiman di Indonesia, ujar Fajar, kini kekuasaan kehakiman berada di tangan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA). Kalau dulu, puncak kekuasaan kehakiman berada di tangan MA.
“MK tidak mengadili persoalan-persoalan hukum yang bersifat konkret, namun mengadili persoalan-persoalan konstitusional. Sedangkan MA mengadili persoalan-persoalan hukum yang konkret, misalnya penipuan, pencurian, perampokan dan sebagainya. MA juga memberikan hukuman kepada orang yang terbukti bersalah, berupa denda atau kurungan,” urai Fajar.
Lebih lanjut, Fajar menjelaskan mengenai kewenangan-kewenangan MK. Kewenangan pertama MK adalah menguji UU terhadap UUD. Kenapa UU harus diuji dan batu ujinya adalah UUD? “UUD berada paling tinggi dan menjadi sumber dari segala sumber hukum. Sedangkan posisi UU berada di bawah UUD dan UU dibuat untuk menjabarkan UUD,” ucap Fajar.
Terkadang, sambung Fajar, UU dibuat tidak sesuai dengan apa yang dimaksud dalam UUD. Oleh karena itu tugas MK adalah agar UU selaras, tidak bertentangan, tidak melanggar UUD. “Kalau UU bertentangan dengan UUD dan tidak dapat diuji, itu bahaya besar bagi negara hukum. Karena UU yang justru melanggar rakyat, bisa terus berlaku. Karena itu, diuji oleh MK, supaya sesuai dengan UUD,” urai Fajar.
Kemudian yang menjadi kewenangan kedua MK adalah memutus sengketa kewenangan lembaga negara, yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Banyaknya lembaga negara di Indonesia, memungkinkan terjadinya sengketa sehingga harus ada pihak yang menyelesaikan.
“Tetapi bukan sembarang sengketa, yang bisa diselesaikan oleh MK adalah sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Misalnya, kewenangan MPR, Presiden, atau DPR yang disebutkan dalam UUD 1945,” papar Fajar.
Selanjutnya, kewenangan ketiga MK adalah memutuskan pembubaran partai politik. Kenyataannya, membubarkan parpol bukan hal yang mudah dan sederhana. Parpol merupakan pilar dari sebuah negara demokrasi, keberadaannya menjadi hal yang penting. Oleh sebab itu, parpol tidak boleh sembarangan dibubarkan seperti pada masa dahulu, tanpa mekanisme hukum, seperti terjadi pada masa Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. “Kebebasan berserikat, berkumpul dijamin dalam UUD 1945. Pembubaran parpol harus melalui mekanisme hukum dan MK yang berhak membubarkan parpol,” imbuh Fajar.
Selain itu, lanjut Fajar, ada kewenangan keempat MK yaitu memutus sengketa perkara perselisihan hasil Pemilu, termasuk juga Pemilukada. Ditambah satu kewajiban MK yaitu memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat maupun perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.(Nano Tresna A./mh)