Salah satu hak manusia adalah mengkonsumsi barang-barang, termasuk barang yang diperjualbelikan secara legal. Dalam hal ini, oleh karena rokok diperjualbelikan secara legal, maka sebagai manusia berhak mengonsumsi barang-barang legal tersebut dan jaminan Pemerintah atasnya. Memang terdapat sejumlah polemik, akan tertapi terlepas dari polemik benar atau salah, bagaimana pun orang yang tidak merokok juga berhak mendapatkan perlindungan agar tidak terganggu oleh asap rokok.
“Oleh karena itu, pemerintah perlu menjamin kepastian orang yang memilih merokok, karena rokok adalah barang konsumsi yang diperjualbelikan secara legal,” jelas para Pemohon Enryo Oktavian, Abhisam Demosa Makahekum, dan Irwan Sofyan, yang diwakili Ahli para Pemohon, Aprinus Salam dalam Perkara Nomor 57/PUU-IX/2011 dalam Pengujian Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan terhadap Undang-Undang Dasar tahun 1945, di Mahkamah Konstitusi, Selasa (15/11).
Sebelumnya, para Pemohon melalui kuasanya, R. Heri Sukrisno mendalilkan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam Pasal 115 ayat (1) berbunyi, “Kawasan tanpa rokok antara lain: a. fasilitas pelayanan kesehatan; b. tempat proses belajar mengajar; c. tempat anak bermain; d. tempat ibadah; e. angkutan umum; f. tempat kerja; dan g. tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.” Mengajukan uji materiil terhadap berlakunya penjelasan Pasal 115 Ayat (1) sepanjang kata ‘dapat’ Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. “khusus tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya, dapat menyediakan tempat khusus untuk merokok. Hal tersebut dinilai berpotensial merugikan para Pemohon,” urai Heri saat persidangan tanggal 15 September 2011. Oleh karena itu, Pasal 115 Ayat (1) sepanjang kata ‘dapat’ dalam No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1), Pasal 28H Ayat (2), Pasal 28I Ayat (2), Pasal 28I Ayat (4), dan Pasal 28J Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Setelah memahami UU tersebut, Aprinus Salam mengatakan bahwa Pasal 115 dalam UU tersebut jelas mengakibatkan para perokok bisa kehilangan tempat untuk mendapatkan hak kemanusiaannya. “Oleh karena itu, tidak ada salahnya undang-undang tersebut ditinjau kembali untuk diubah atau dibatalkan,” pinta Kuasa Hukum Pemohon.
Sementara itu, Pemerintah yang diwakili oleh Budi Sampurna selaku staf ahli Menteri Bidang Medikolegal mengatakan bahwa Pengujian UU yang diajukan oleh para Pemohon, menurutnya, Pemerintah melalui Yang Mulia Ketua dan Majelis Mahkamah Konstitusi memohon kiranya para Pemohon dapat membuktikan terlebih dahulu, “apakah benar, sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji tersebut?” tanya kuasa hukum itu.
Sedangkan, kuasa Pihak Terkait, Ari Subagio Wibowo mengatakan bahwa Pemohon Prinsipal dalam perkara tersebut yang mengatakan perlu adanya ruangan khusus perokok di tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya, di nilai oleh Ari Subagio sebagai suatu tindakan yang tidak manusiawi dan sebuah fakta yang tidak berdasar. “Fakta tak terbantahkan bahwa bahaya merokok tidak hanya akan dirasakan oleh si perokok saja, melainkan juga oleh orang-orang di sekelilingnya si perokok. Bahkan perokok pasif rentan jadi korban penyakit, akibat rokok karena mengisap asap sampingan yang tiga kali lebih berbahaya dari yang dihisap perokok,” ucap kuasa hukum itu.
Setelah mendengar keterangan para ahli dari masing-masing pihak, Pimpinan Sidang Pleno Moh. Mahfud MD, dalam akhir persidangan mengatakan bahwa sidang berikutnya akan mendengarkan keterangan ahli dan saksi dari Pihak Terkait, sekaligus juga kami memberi kesempatan lagi kepada Pemerintah untuk mengajukan ahli. “Dengan demikian, selambat-lambatnya hari Senin sebelum tanggal 1 Desember 2011, nama-nama ahli dan saksi yang sudah pasti hadir, supaya didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi agar sidang ini bisa diantisipasi kebutuhan teknisnya,” saran Mahfud. (Shohibul Umam/mh)