INILAH.COM, Samarinda - Para kuasa hukum Tim Judicial Review (JR) Pasal 14 (e) dan (f) UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ke Mahkamah Konstitusi (MK), telah mempersiapkan 25 alat bukti untuk sidang ketiga dan selanjutnya.
Alat-alat bukti ini dalam bentuk tertulis, foto dan audio visual yang memaparkan kondisi ekonomi dan kesejahteraan yang minim di Kaltim sebagai daerah penghasil migas. Kondisi tersebut mereka ungkapkan sebagai tidak adilnya dana bagi hasil (DBH) Migas yang diatur oleh pasal di atas.
Disebutkan salah seorang kuasa hukum Tim JR, Syaiful Bahri, alat-alat bukti tersebut telah disortir dan dipilih oleh tim pakar. Syaiful yang bekerja pada kantor advokat Muspani Associates itu mengatakan, kelak ada sekitar tujuh saksi ahli yang dihadirkan dalam sidang-sidang selanjutnya yang belum diketahui kapan.
“Mereka adalah pakar ekonomi, lingkungan, tata negara dan perminyakan tingkat lokal dan nasional,” tukas Syaiful akhir pekan lalu di Samarinda.
Syaiful sebutkan, ada dua hal penting yang mereka cantumkan dalam gugatan mereka. Pertama, mereka mendapatkan keterangan dari seorang mantan Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan RI, bahwa DBH Migas yang diatur dalam Pasal 14 (e) dan (f) tak punya dalil.
Padahal pasal tersebut memainkan peran sangat strategis yang berhubungan langsung dengan ekonomi. Pada dua pasal itu diatur DBH minyak bumi untuk daerah adalah 15,5 persen, dan gas bumi 30,5 persen. Sisanya adalah milik Pusat.
Yang kedua adalah, DBH itu dinilai tidak cukup untuk memulihkan lingkungan pasca eksploitasi migas di daerah bersangkutan
“Apakah nilai itu cukup untuk daerah penghasil untuk mempercepat pembangunan? Apakah cukup untuk recovery pasca eksploitasi?” tanya Syaiful.
Meski kelak keputusan berdasarkan putusan hakim, namun kata Syaiful, hakim-hakim MK dikenal memutuskan sesuatu juga melibatkan ‘suasana batin’. Karena itu ia merasa penting agar solidaritas masyarakat Kaltim kuat, menggalang mobilitas masyarakat secara luas, untuk menggugah suasana batin para hakim MK. Alasan yang sama menjadi landasan mengapa DPD RI pada 29-30 November ini menggelar seminar nasional bertajuk ‘Sumber Daya Alam: Berkah atau Bencana?’.
Namun ia yakin hakim akan berpihak pada pemohon dan menganggap formula DBH itu tidak adil. Tapi soal bagaimana mengisi kekosongan hukum kelak pasal itu dibatalkan, kata Syaiful, itu hak MK untuk memutuskannya.