Begitu besar arti pentinganya demokrasi bagi Abdurrahman Wahid atau yang biasa disapa dengan Gus Dur. Dalam beberapa kesempatan sewaktu Gus Dur masih hidup mengatakan dirinya akan berjuang terus secara mati-matian untuk membangun demokasi. Gus Dur lebih senang dikatakan sebagai bapak demokrasi dari pada julukan yang lain. Karena, kata Gus Dur, negara ini akan sehat, kalau demokrasinya berjalan dengan sehat.
Demikian disampaikan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud MD saat membacakan sepintas Pemikiran Gus Dur yang ditulisnya sendiri, dalam acara ”Simposium Kristalisasi Pemikiran Gus Dur” yang diselenggarakan oleh Yayasan Bani Abdurrahman Wahid, Jakarta, Rabu (16/11). Hadir dalam kesempatan itu, Sinta Nuriyah Wahid, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Agil Siradj, seorang Kiai dan budayawan Indonesia Mustofa Bisri, dan sejumlah tokoh lintas agama, serta ratusan kader nahdliyin yang memadati acara tersebut.
Mahfud mengatakan bahwa kata Gus Dur, demokrasi akan tumbuh dengan sehat, apabila dijamin dengan tiga hal yaitu, kesamaan, kebebasan, dan kedaulatan hukum. ”Takkan ada demokrasi, kalau tidak ada persamaan, kebebasan, kedautan hukum,” ucap Mahfud menirukan pernyataan Gus Dur saat itu.
Mahfud menambahkan bahwa sebagai bangsa yang didasarkan atas berbedaan, maka para pemeluk agama harus memilih beragama secara lurus dan toleran, di mana secara lurus dan tegak berdasarkan internal dan eksternal agama, dan toleran dengan pemeluk agama lain. ”Demikianlah sedikit pancaran Gus Dur dalam merawat negara Indonesia. Namun, begitu banyak pemikiran Gus Dur dalam merawat bangsa Indonesia tanpa melunturkan integirtas dirinya sebagai tokoh Islam yang sangat berpengaruh,” tutur Mahfud.
Labih penting lagi, kata Mahfud, Gus Dur juga bisa merajut pemikiran dan langkah-langkah dalam mempertemukan antara kehidupan beragama, bernegara, dan berbudaya. ”Sehingga dalam negara ini tetap ada filosofi faham dan pandangan yang telah dipilih oleh para pendiri bangsa ini.”
Sementara, dalam konteks negara bangsa Indonesia diharuskan tegak, gagah dan bermartabat dalam menampilkan dirinya, sehingga tidak dilumat oleh gelombang nasionalisme. Gus Dur kalau berbicara nasionalsme bukan hanya berbicara mozaik dan bentuk fisik bangsa, tetapi juga makna yang subtantif dari makna bangsa itu. ”Atas dasar itu, pemikiran dari sosok Gus Dur yang disebut sebagai guru bangsa, telah mengajarkan kepada kita, bagaimana kita belajar hidup berbangsa dan belajar hidup di dunia ini,” jelas Mahfud.
Selain itu, Mahfud juga mengatakan bahwa Gus Dur juga mengajarkan kita untuk hidup bersama sebagaimana suatu bangsa yaitu bangsa Indonesia, dengan menyadari perbedaan primordial yang meliputi perbedaan agama, kultur, ras, etnis dan sebagainya. Gus Dur juga menyatakan perbedaan adalah fitrah. Sehingga tidak mungkin bisa hidup tanpa adanya fitrah. ”Oleh karena itu, Gus Dur menyatakan bahwa dengan perbedaan-perbedaan yang fitri kita meletakan di atas dasar kemanusian. Dan, Gus Dur sangat percaya dengan adanya perbedaan, dapat dikelola dengan baik hanya melalui demokrasi sebagai prinsip sistem hidup bernegara, ” urainya.
Mengenang Wafatnya Gus Dur
Dalam hal ini, Mahfud mengatakan sungguh mengagumkan ketika mantan Presiden Abdurrahman Wahid meninggal dunia pada 30 Desember 2010 yang lalu. Jutaan orang memberikan penghormatan kepada Gus Dur. ”Saya melihat sendiri rakyat berjubel, dari rumah sakit sampai ke rumah Almarhum di Ciganjur, Jakarta. Begitu juga rakyat kembali berjubel, saat membawa jenazah Gus Dur dari Bandara Juanda Surabaya ke kediaman terakhir di Jombang Jawa Timur, tempat Gus Dur disemayamkan,” kenangnya.
Dari kejadian itu, Mahfud melihat, banyak rakyat menangis dan banyak rakyat yang berteriak Allahu Akbar, selamat jalan Gus Dur. Ada juga yang melambaikan Bendera Merah Putih dan ada yang mengumandangkan shalawat. ”Dengan sangat mengharukan, semua hanyut dalam duka,” kagum Mahfud.
Semua yang dilakukan itu, kata Mahfud, menandakan rasa kehilangan rakyat Indonesia atas bapak bangsa yang sangat dicintai dan disayanginya. Ada yang menyatakan bahwa dalam seratus terakhir hanya ada empat tokoh yang ada di dunia ini, yang kematiannya ditangisi dan didoakan oleh banyak orang yaitu Mahatma Gandhi di India, John Kennedy di Amerika Serikat, seorang tokoh di Iran, dan yang termudah dan yang terkahir, yaitu Abdurrahman Wahid di Indonesia.
Tak sulit untuk menjawab hal tersebut, kenapa banyak orang yang mendoakan dan menangisi wafatnya? ”Kata Gus Mus bahwa Gus Dur dicintai oleh manusia, karena dia mencintai manusia yang lain. Hidup Gus Dur tidak mau menyakiti orang, dan selalu ingin untuk menolong orang lain,” urai Mahfud menirukan pernyataan dari Gus Mus. (Shohibul Umam/mh)