Tak Beralasan Hukum, Uji Materi UU Tenaker Ditolak
Kamis, 17 November 2011
| 13:59 WIB
Uji konstitusionalitas materi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Tenaker) berujung penolakan. “Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Moh. Mahfud MD saat memimpin sidang pengucapan putusan perkara Nomor 61/PUU-VIII/2010, Senin (14/11/2011) bertempat di ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi (MK).
Sidang uji materi UU Tenaker ini diajukan oleh M. Komarudin, Ketua Umum Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI), Muhammad Hafidz Sekretaris Umum (FISBI). Materi pasal UU Tenaker yang diujikan yaitu Pasal 1 angka 22, Pasal 88 ayat (3) huruf a, Pasal 90 ayat (2), Pasal 160 ayat (3), ayat (6), Pasal 162 ayat (1), dan Pasal 171.
Pemohon mendalilkan berlakunya Pasal 1 angka 22 mengakibatkan hak-hak normatif pekerja/buruh dapat diperselisihkan ke Pengadilan Hubungan Industrial melalui proses bipartit dan mediasi, sehingga pekerja/buruh dalam memperjuangkan haknya harus menempuh proses peradilan yang membutuhkan waktu tidak sebentar. Selain itu, ketentuan tersebut telah keliru dalam menetapkan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh sebagai perselisihan hubungan industrial. Menurut Mahkamah, lamanya proses yang harus dilalui bukanlah semata-mata kesalahan pihak pengusaha tetapi juga sangat bergantung kedua belah pihak. Hal ini menurut Mahkamah bukan merupakan alasan yang menyebabkan inkonstitusionalnya norma yang diujikan, melainkan merupakan masalah penerapan hukum.
Mengenai upah minimum dalam Pasal 88 ayat (4) UU 13/2003. Pada prinsipnya menurut Mahkamah, upah minimun telah terakomodasi dalam Pasal 88 ayat (4), walaupun dalam penetapan tersebut perlu diperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang menjadi unsur penting untuk terpenuhinya upah minimum dimaksud. Selanjutnya, Pasal 90 ayat (2) yang menurut Pemohon telah memberikan celah kepada pengusaha untuk tidak patuh terhadap hukum. Menurut Mahkamah, kekuatan modal dan produksi pengusaha tidak dapat disamaratakan. Bagi perusahaan yang kuat dengan modal dan teknologi yang modern serta manajemen yang handal, penangguhan upah minimum tidaklah adil. Sebaliknya bagi perusahaan dengan modal kecil dan margin keuntungan yang kecil, perusahaan tersebut masih memerlukan perlindungan hukum, karena belum mampu memberikan upah minimum.
Mengenai berlakunya ketentuan Pasal 160 ayat (3) dan ayat (6) menurut Mahkamah, proses perkara pidana bisa berlangsung bertahun-tahun justru tidak menjamin kepastian hukum (justice delayed justice denied), baik bagi pekerja/buruh maupun pengusaha sendiri. Terakhir, frasa “dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya” dalam ketentuan Pasal 171. Mahkamah menilai, batasan jangka waktu paling lama satu tahun merupakan jangka waktu yang proporsional untuk menyeimbangkan kepentingan pengusaha dan pekerja/buruh dan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Batasan demikian malah penting demi kepastian hukum yang adil agar permasalahan tidak berlarut-larut dan dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. (Nur Rosihin Ana/mh)