Sepanjang sejarah kebangsaan Indonesia mulai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945, konstitusi Indonesia telah mengalami beberapa kali pasang surut. UUD 1945 hasil pembentukan BPUPK dan PPKI pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pernah diganti pada masa Konstitusi RIS 1949 yang bertujuan untuk mengakomodir perundingan Linggar Jati hasil kesepakatan pemerintah Indonesia dan Belanda.
“Namun Konstitusi RIS tersebut banyak mendapat pertentangan dari berbagai kalangan di tanah air, karena dianggap Konstitusi RIS merupakan bukti lemahnya pemerintah Indonesia dalam menghadapi perundingan dengan Belanda,” ungkap Hakim Konstitusi Anwar Usman pada Wisuda Ke-XII Program S1 dan Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) IBLAM di Jakarta, Sabtu (13/11).
Akibat pertentangan dari berbagai kalangan terhadap Konstitusi RIS, maka ditentukan UUDS 1950. Selanjutnya, keadaan ini menjadi harapan lahirnya UUD baru pasca diselenggarakannya pemilihan umum pada 15 Desember 1955. Tujuannya untuk memilih para anggota konstituante yang diharapkan dapat membuat UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950.
“Ternyata harapan tersebut menemui jalan buntu karena para anggota konstituante tidak mencapai kesepakatan,” ucap Anwar Usman.
Hingga akhirnya pada 5 Juli 1959, Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden yang antara lain memuat pembubaran konstituante, menyatakan tidak berlakunya UUDS 1950 serta kembali ke UUD 1945. Pasca Dekrit Presiden, UUD 1945 seolah menjadi barang sakral yang tidak boleh menjadi bahan diskusi atau perdebatan, apalagi untuk diubah.
Setelah bergulir Reformasi Politik 1998, sakralisasi terhadap UUD 1945 berakhir. Tuntutan demokratisasi muncul di mana-mana, seiring dengan derasnya arus reformasi yang kesemua itu harus diakomodir dengan tetap berlandaskan Konstitusi, agar tidak menimbulkan anarki.
“Oleh karena itu setelah berakhirnya rezim orde baru ke orde reformasi dan pasca Pemilu 1999, perubahan konstitusi pun dimulai, yang diwujudkan dalam empat tahap proses perubahan yakni mulai 1999-2002,” urai Anwar.
Dijelaskan Anwar, perubahan konstitusi dipandang menjadi kebutuhan yang harus dilaksanakan, karena UUD 1945 sebelum perubahan, dianggap tidak lagi cukup untuk memberikan dasar bagi terselenggaranya negara dengan prinsip good governance, serta mendukung penerapan demokrasi dan hak asasi manusia.
“Setidaknya ada beberapa alasan pokok yang menyebabkan UUD 1945 tidak cukup mampu mendukung penyelenggaraan negara yang demokratis dan menegakkan hak asasi manusia,” imbuh Anwar.
Alasan-alasan pokok itu antara lain, ketiadaan pembatasan kekuasaan Presiden yang pasti, sehingga memungkinkan Presiden untuk dipilih kembali dalam setiap kesempatan pemilu. Di samping itu, paham supremasi MPR yang cenderung mudah didominasi oleh parpol pemenang pemilu, yang notabene partai penguasa sehingga menyebabkan tidak adanya sistem check and balance antara cabang kekuasaan negara.
“Selain itu UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden, sehingga ranah Presiden sangat dominan dalam penyelenggaraan negara. Kemudian juga, UUD 1945 sebelum perubahan sangat mempercayakan pada semangat penyelenggara negara, sehingga bersifat subjektif dan bukan bergantung pada sistem,” tandasnya. (Nano Tresna A./mh)