Sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) berdiri, tidak ada yang bisa menguji Undang-Undang (UU). Dahulu, konstitusi hanya dimaknai sebagai asas dan moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan konstitusi sebagai hukum tidak pernah ditegakan malalui mekanisme hukum, tetapi hanya melalui mekanisme politik.
Demikian disampaikan oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi di depan ratusan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta dalam acara Kunjungan Studi Banding Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, di Gedung MK, Jakarta, Kamis (10/11). ”Jadi agak mengingkari, bahwa konstitusi walaupun sebagai hukum tertinggi, tetapi konstitusi sebagai hukum tidak pernah ditegakan melalui mekanisme hukum.”
Di samping itu, Fadlil Sumadi juga mengatakan bahwa mengapa ada MK di negara ini? Karena, pada pertengahan abad ke-20, adanya pemikiran, perlunya fungsi pengawalan konstitusi sebagai the supreme law of the land. ”Dan fungsi MK itu adalah mengawal konstitusi,” ucap Fadlil Sumadi.
Lanjut Fadlil menegaskan bahwa mengapa Konstitusi harus dikawal? Karena, menurutnya, Konstitusi dalam kehidupan bernegara di Indonesia harus berhukum, dan harus menggunakan instrumen hukum. Dalam hal ini, tingkat yang paling tinggi dalam hukum adalah Konstitusi. ”Makanya Konstitusi disebut sebagai the supreme law of the land. Menjadi hukum tertinggi di dalam suatu negara,” urai Fadlil.
Lebih lanjut, Fadlil mengatakan bahwa apa makna konstitusi sebagai hukum tertinggi dalam suatu negara? Artinya, ”Semua hukum harus bersumber dari dia. Semua hukum harus diuji validitasnya, semua hukum dianggap benar kalau tidak bertentangan dengan dia yaitu the supreme law of the land.”
Oleh karena itu, menurut Fadlil, UU yang dibentuk, belum tentu menguntungkan rakyatnya, karena bertentangan dengan the supreme law of the land. ”UU itu, justru merugikan mereka, karena merugikan hak-hal konstitusional yang dimiliki oleh warga negara,” tegasnya.
Dikarenakan, kata Fadlil, negara adalah abstrak. Konkritnya, yang menjalankan konstitusi adalah orang juga. Di mana, orang dianggap mempunyai kepentingan, keinginan, dan cita-cita yang sering bertabrakan dengan keinginan dan cita-cita rakyat atau warga negara, yang dikehedaki dalam konsitusi.
Sementara itu, menanggapi pertanyaan dari mahasiswa terkait dengan putusan MK mengapa tidak final and binding dalam mengadili pendapat DPR berkenaan dengan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden, menurut Fadlil, kasus tersebut adalah kasus politik. Lembaga Presiden adalah politik. Dalam hal ini, soal politik, rekruitmentnya dipilih melalui mekanisme politik. Dahulu, Presiden Abdurrahman Wahid diturunkan, belum tahu salahnya apa? Dan penyelesaiann masalahnya juga tidak benar. ”Oleh sebab itu, masalah politik harus ada dasar hukumnya,” tegas Fadlil.
Sebelumnya, Dosen Pembimbing Hukum Perdata, Suhardana selaku perwakilan rombongan studi banding tersebut, mengucapkan terima kasih kepada MK, karena telah membantu para mahasiswa untuk belajar hukum, khususnya hukum acara MK. ”Dalam hal ini, walaupun kita sudah belajar tentang hal tersebut. Namun, ia kira tidak cukup, mengingat kebutuhan pasar kerja pun menginginkan untuk mempunyai bekal yang bersifat aplikasif,” jelas Suhardana menyampaikan maksud dan tujuan mereka datang. (Shohibul Umam/mh)