Dua Ahli dari Pemohon perkara No. 45/PUU-IX/2011 menyampaikan keterangannya di hadapan Panel Hakim, Selasa (8/11). Keduanya, yaitu Ahli Hukum Pidana Pertanahan dan Kehutanan, Kurnia Toha dan Direktur Eksekutif Biro Konsultasi Hukum dan Kebijakan Kehutanan, Sadino.
Kurnia Toha mendapat kesempatan pertama menyampaikan keterangannya di hadapan Panel Hakim yang diketuai Wakil Ketua MK, Achmad Sodiki. Toha menyampaikan bahwa ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 41 Tahun 1999 mengakibatkan ketidakpastian hukum karena dapat mengakibatkan adanya perbedaan penafsiran dan menyebabkan pelanggaran terhadap hak-hak rakyat dan instansi pemerintah lainnya karena proses penetapan kawasan hutan cukup dilakukan dengan ditunjuk tanpa perlu melalui proses yang sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum atau prinsip-prinsip due process of law.
Lebih lanjut, Toha mengutip pernyataan Ugo Mattei yang menyatakan bahwa hak atas tanah, antara lain memberikan hak untuk menguasai, hak untuk menggunakan, hak untuk mengelola, hak untuk mendapatkan penghasilan, dan hak untuk mengusahakan. Toha juga mengutip pernyataan Nicholas Mercuro dalam bukunya “The Fundamental Interrelationship Between Goverment and Property” yang menyatakan bahwa hak-hak kebendaan, termasuk hak atas tanah tidak banyak artinya apabila tidak ditentukan secara jelas dan tidak pasti. ”Apabila tidak jelas, maka akan menyebabkan tidak adanya jaminan dan akan menyebabkan konflik di masyarakat,” ujar Toha.
Dari berbagai pendapat tersebut, Toha mengatakan bahwa hak atas kebendaan atau property rights baru mempunyai arti dan bisa dilaksanakan apabila terdapat jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum. Sedangkan jaminan, masih menurut Toha, perlindungan dan kepastian hukum baru terdapat apabila terdapat perlindungan dari pemerintah melalui peraturan yang jelas dan adanya perlindungan dari penegak hukum.
Di akhir penjelasannya, Toha mengatakan, Ketentuan Pasal 1 angka 3, khususnya frasa ”ditunjuk dan/ atau ditetapkan” mengakibatkan penunjukan kawasan hutan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan penetapan kawasan hutan. Hal itu menyebabkan tidak adanya kepastian hukum, jaminan, perlindungan dan melanggar keadilan yang merupakan sendi-sendi utama dari negara hukum. ”Dengan demikian, ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 bertentangan dengan Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945,” tukas Toha.
Senada dengan Toha, Ahli dari Pemohon yang kedua, Sadino mengatakan bahwa permasalahan kehutanan saat ini sangat kompleks dan diperlukan adanya kepastian hukum bagi semua pihak. Pemerintah Daerah di seluruh kabupaten di Kalimantan Tengah menurut Sadino mengalami pelanggaran hak konstitusional secara terstruktur dan sistemik akibat Kementerian Kehutanan tidak memprioritaskan pelaksanaan pengukuhan kawasan hutan yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan dan menurut kaidah teknis kehutanan, misalnya menyatakan antara penunjukan dan penetapan mempunyai kekuatan hukum yang sama.
Selama ini, lanjut Sadino, untuk menetapkan kawasan hutan digunakan Surat Keputusan Menteri Pertanian Tahun 1982 sebagai landasannya. Padahal, surat keputusan itu tidak disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. ”Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 hanya mengenal penetapan kawasan hutan. Meskipun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tetap belum terlihat ada pembenahan terhadap surat keputusan Menteri Pertanian dimaksud,” ujar Sadino. (Yusti Nurul Agustin/mh)