Delegasi dari Kementerian Pekerjaan Umum (PU) mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK), pada Selasa (8/11) pagi. Kedatangan mereka diterima langsung oleh Hakim Konstitusi H.M. Akil Mochtar di ruang konferensi pers MK, yang juga memberikan kuliah singkat bertema “Peraturan Perundangan”, termasuk di dalamnya sejarah singkat pengujian UU di dunia, lahirnya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) dan wewenang MKRI.
Dalam pertemuan itu, disinggung mengenai UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU No. 12/2011 menjelaskan hirarki perundang-undangan ini : a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d) Peraturan Pemerintah; e) Peraturan Presiden; f) Peraturan Daerah Provinsi; g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”
Melihat hirarki perundang-undangan tersebut, Ketetapan MPR berada di bawah UUD 1945. Permasalahannya, kata Hakim Konstitusi Akil Mochtar, dalam UU MK disebutkan bahwa salah satu wewenang MK adalah menguji UU terhadap UUD. Dengan demikian MK tidak menguji Ketetapan MPR.
“Dengan demikian belum diatur adanya lembaga resmi yang bisa menguji Ketetapan MPR,” ujar Akil dalam kesempatan itu.
Dijelaskan Akil, berdasarkan hirarki perundangan-undangan tersebut, kedudukan Ketetapan MPR lebih tinggi dari UU. Kemudian dalam UU No. 12/2011 dinyatakan hal itu sebagai satu perintah untuk membuat satu legislasi, maka Ketetapan MPR itu ditafsirkan menjadi dua. “Di samping ketetapan, juga sebagai keputusan. UU merupakan keputusan bukan ketetapan. Tapi, kalau jadi satu norma UU harus abstrak,” ucap Akil.
Kuliah singkat itu juga membahas soal kekuasaan yang merdeka untuk menjalankan peradilan, guna menegakkan hukum dan keadilan. Pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, selain juga Mahkamah Konstitusi.
Akil memaparkan kekuasaan Mahkamah Konstitusi yakni mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan mengikat terhadap perkara. Sedangkan wewenang MK adalah menguji undang-undang, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilihan umum termasuk pemilukada.
“Selain itu ada kewajiban MK, yaitu wajib memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut UUD,” kata Akil.
Akil juga menjelaskan sejarah terjadinya pengujian undang-undang atau judicial review di dunia, yang dilatar belakangi kasus Marbury vs Madison yang mencakup pembatalan ketentuan terkait pengangkatan hakim (judiciary Act. 1789). Kasus itu pun jadi dasar kewenangan judicial review Supreme Court Amerika Serikat. (Nano Tresna A./mh)