Keberadaan mantan anggota partai politik sebagai penyelenggara pemilihan umum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum digugat ke Mahkamah Konstitusi. Sidang pendahuluan digelar pada Jum’at (4/11) di ruang sidang Panel MK.
Permohonan tersebut diajukan oleh tujuh organisasi yang concern terhadap isu demokrasi dan pemilihan umum. Mereka, antara lain, Indonesia Parliamentary Center, Indonesia Corruption Watch, Sugeng Sarjadi Syndicate, CETRO, dan KRHN.
Dalam permohonannya, Pemohon menguji beberapa pasal, yakni Pasal 11 huruf i sepanjang frasa “mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik”, Pasal 85 huruf i sepanjang frasa “mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik”, serta Pasal 109 ayat (4) huruf c, d, dan e sepanjang frasa “4 (empat) orang tokoh masyarakat dalam hal jumlah utusan partai politik yang ada di DPR berjumlah ganjil atau 5 (lima) orang tokoh masyarakat dalam hal jumlah utusan partai politik yang ada di DPR berjumlah genap”.
Menurut Pemohon, ketentuan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 terutama Pasal 22E ayat (5). Karena, berpotensi merugikan Pemohon selaku warga negara yang berhak mendapatkan perlindungan hak-hak konstitusional, khususnya hak politik yang sangat berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan umum.
“Warga negara berhak atas penyelenggara pemilu yang mandiri sehingga dapat memfasilitasi dan menjamin hak pilih warga negara dalam pemilu dengan benar,” kata salah satu kuasa hukum Pemohon. Menurut Pemohon, rumusan tersebut akan memengaruhi kemandirian dan independensi penyelenggara pemilu nantinya. “Pemilih berhak atas pemilu yang jujur dan adil,” tambahnya.
Ketentuan tersebut, lanjut Pemohon, memungkinkan adanya penyelenggara pemilu yang melindungi atau memberi keuntungan bagi salah satu partai politik yang ikut serta dalam pemilu. Oleh karena itu, Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan ketentuan tersebut tidak berlaku dan mengubahnya menjadi “tidak pernah menjadi anggota partai politik yang dinyatakan dalam surat pernyataan yang sah atau sekurng-kurangnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun tidak lagi menjadi anggota parpol yang dibuktikan dengan surat dari pengurus partai politik yang bersangkutan.”
Adapun Pasal 11 huruf i selengkapnya berbunyi, “Syarat untuk menjadi calon anggota KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota adalah: … i. mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik, jabatan politik, jabatan di pemerintahan, dan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah pada saat mendaftar sebagai calon.” Sedangkan Pasal 85 mengatur tentang persyaratan sebagai anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Setelah mendengarkan pokok-pokok permohonan tersebut, Panel Hakim yang terdiri dari Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar (Ketua), Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, dan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, memberikan beberapa masukan dan nasihat kepada Pemohon.
Menurut Akil, ada hal penting yang perlu diperbaiki oleh Pemohon, yakni terkait penyebutan UU yang diuji. Sebab, dalam permohonannya Pemohon menyebut UU yang diuji dengan “Ketentuan perubahan UU tentang Penyelenggara Pemilu”. Padahal, sambung Akil, UU tersebut adalah UU No. 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu, tidak seperti yang dinyatakan oleh Pemohon. Hal ini terjadi, karena Pemohon meregistrasi permohonan sebelum nomor UU-nya ada. “Ini seharusnya permohonan baru lagi,” saran Akil. “Prosedur harus benar, sehingga putusannya benar,” selorohnya.
Sedangkan Hamdan Zoelva menyarankan kepada Pemohon untuk memperbaiki petitum permohonan. “Petitum tidak match,” katanya. Selain itu, ia meminta kepada Pemohon agar lebih menguraikan penjelasannya dengan memfokuskan kepada hubungan antara kemandirian penyelenggara pemilu dengan kerugian konstitusional. (Dodi/mh)