Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Sulawesi Barat, Kamis (3/11). Sidang yang dimulai pukul 08.00 WIB itu dimulai tepat waktu dengan agenda melanjutkan mendengar keterangan saksi Para Pemohon. Sidang kali ini masih diketuai oleh Ketua Panel Hakim, M. Akil Mochtar.
Pada persidangan kali ini, Para Saksi Pemohon No. Perkara 110 dan 111 mengungkapkan berbagai praktik curang yang dilakukan aparat pemerintahan setempat.
Sidang dimulai dengan mendengar keterangan saksi Pemohon No. Perkara 110, Etus Kalvedu. Etus merupakan anggota tim sukses pasangan nomor urut 3 di tingkat Kecamatan Sumarorong, Kabupaten Mamasa.
Etus dalam keterangannya mengatakan adanya keterlibatan oknum Kepala Desa Tadisi yang berkampanye ketika digelar suatu pesta pengantin. ”Nama Kepala desanya Paulus Parudungan, Yang Mulia. Dia menganjurkan untuk mencoblos nomor urut 2 mengatakan menggunakan pengeras suara,” ujar Etus menjawab pertanyaan Akil.
Mendengar Paulus berkampanye di pesta perkawinan itu, Etus kemudian melaporkannya kepada Ketua Tim Pemenangan Nomor Urut, Andi Waris. Setelah mendengar laporan Etsu, Andi kemudian melaporkan hal itu kepada Panwas Kecamatan (Panwascam). ”Kami dipanggil Panwascam setelah melaporkan itu. Tapi setelah dipanggil tidak ada tindaklanjutnya,” terang Etus.
Saksi Pemohon 111, Suljana mendapat kesempatan berikutnya untuk menerangkan adanya keterlibatan aparat yang memihak kepada salah satu calon pasangan.
Suljana mengatakan dirinya memberi tahu temannya bernama Badar bahwa bahwa Sekretaris Camat mencoblos di TPS 1. Sekretaris Camat, Rahmat Amin itu menurut Suljana telah mencoblos sebanyak dua kali di dua TPS berbeda, yaitu TPS 1 dan TPS 3.
Melihat kecurangan itu, Suljana kemudian melakukan protes kepada PPS. ”Saya bilang, ’Bagaimana ini karena tidak ada kartu undangannya? Kartu pemilih yang hanya diperlihatkan.’ Ketua PPS bilang, ’PPS tidak apa-apa karena dia adalah pemerintah kita,’” jelas Suljana menirukan ucapan Ketua PPS saat ia melayangkan protes.
Selain memaparkan adanya keterlibatan aparat pemerintah dalam kampanye maupun penggandaan suara, Para saksi Pemohon juga memaparkan adanya praktik politik uang. Salah satunya seperti yang dikatakan Rahman, Saki Pemohon Perkara No. 111. Rahman mengatakan istrinya dipanggil oleh salah seorang tetangga yang bernama Wismar untuk datang ke rumahnya. Sesampainya di rumah Wismar, istri Rahman diberikan uang sebesar 150 ribu rupiah untuk dibagikan ke lima orang.
”Waktu kasih uang itu dia (Wismar, red) berpesan ke istri saya, ‘coblos nomor 2’, Yang Mulia. Saya akhirnya coblos nomor 2, sebelumnya hati nurani ingin coblos nomor satu, tapi karena ada uang saya coblos nomor 2,” aku Rahman. (Yusti Nurul Agustin/mh)