Pemerintah: UU Tenaker Memberikan Keseimbangan Hak dan Kewajiban Pekerja dan Pengusaha
Kamis, 03 November 2011
| 18:34 WIB
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Tenaker) memberikan keseimbangan antara hak dan kewajiban baik untuk pekerja maupun pengusaha. Hal ini disampaikan Kepala Biro Hukum Kemenakertrans Sunarno yang mewakili pemerintah dalam sidang pengujian UU Tenaker yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (2/11). Sidang yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 58/PUU-IX/2011 ini dimohonkan oleh pemohonan perseorangan, Andriyani.
“UU No. 13/2003 (UU Tenaker) tersebut memberikan keseimbangan antara pekerja dan pengusaha. Apa yang dipermasalahkan pemohon adalah mengenai implementasi Pasal 169 ayat (1) huruf c, bukan mengenai keberlakuan suatu norma,” jelas Sunarno di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang dipimpin oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD.
Mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), Sunarno menyampaikan bahwa UU Tenaker justru melindungi pekerja seperti diatur dalam Pasal 151 UU Tenaker. Tindakan pemohon yang mengadukan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial karena merasa upahnya tidak dibayar sudah sesuai dengan ketentuan. “Adapun terhadap putusan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial lebih merupakan masalah implementasi dan keberlakuan norma, bukan konstitusionalitas norma. Seharusnya pemohon melakukan upaya hukum ke Mahkamah Agung ataupun mengajukan tuntutan denda, bukan mengajukan pengujian konstitusionalitas norma ke MK. Bahwa ketentuan a quo merupakan norma yang jelas dan tidak memerlukan penafisran lain, apabila ketentuan a quo dikabulkan oleh MK, maka nanti para pekerja akan dirugikan haknya dan akan menimbulkan ketidakpastian hukum,” urainya.
Sementara itu, Aloysius Widodo mengungkapkan seharusnya Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengabulkan gugatan Pemohon karena Pemohon tidak mendapatkan haknya selama tiga bulan. Hal tersebut, jelas Aloysius, telah diatur dalam UU Tenaker. “Kemudian mengenai sahnya pemutusan hubungan kerja seharusnya atas izin pemerintah,” ujarnya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) telah dilanggar dengan berlakunya ketentuan Pasal 169 ayat (1) UU Tenaker. Pasal 169 ayat (1) UU Tenaker menyatakan bahwa “Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut : (c) tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih”. Menurut Pemohon, ketentuan a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan terhadap pemohon. (Lulu Anjarsari/mh)