Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pendahuluan perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) dari Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) dengan Mahkamah Agung (MA) - Perkara No. 5/SKLN - IX/2011 - pada Rabu (2/11) di ruang sidang MK. Dalam persidangan, KKAI selaku Pemohon, melakukan uji materi terhadap Pasal 36 UU No. 3/2009 tentang Perubahan kedua atas UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung.
Pemohon mendalilkan bahwa sesuai UU No. 18/2003 tentang Advokat disebutkan “Mahkamah Agung menyerahkan kewenangannya meliputan penerbitan kartu advokat oleh organisasi advokat, perpindahan atau mutasi advokat wajib diberitahukan kepada badan yang disebut organisasi advokat, dalam hal ini KKAI untuk mengawasi dan mengangkat para advokat sesuai dengan UU Advokat ...”
Dengan demikian, menurut Pemohon, kewenangan Mahkamah Agung (Termohon) tersebut telah nyata-nyata mengakui keberadaan Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) sebagai badan yang memiliki kewenangan sebagai organ negara pelaksana UU Advokat.
Namun, lanjut Pemohon, saat ini masih melekat pengawasan Mahkamah Agung dan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 36 UU No. 3/2009 tentang Perubahan kedua atas UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung yang berbunyi, “Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas penasehat hukum dan notaris.”
Menurut Pemohon, ketentuan Pasal 36 UU MA tersebut menjadi hambatan fungsi KKAI dalam melaksanakan roda organisasi advokat, menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sehingga para advokat termasuk KKAI terlepas, bebas, dan mandiri dari pengawasan MA dan Pemerintah.
Lebih lanjut Pemohon menjelaskan, saat nama para advokat dari KKAI belum mengajukan permohonan penyumpahan kepada Termohon, ternyata Termohon terlebih dulu menerbitkan Surat No. 089/KMA/VI/2010 tanggal 25 Juni 2010. jo Surat Ketua Mahkamah Agung No.052/KMA/HK.01/III/2011 tanggal 23 Maret 2011, seolah-olah Termohon memiliki kewenangan mengatur organisasi profesi advokat dengan mencantumkan nama PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) dan KAI (Kongres Advokat Indonesia).
Pemohon menegaskan, kedua surat yang diterbitkan Termohon tersebut melampaui batas kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945. Karena organisasi PERADI dan KAI ternyata tidak ditemukan dalam UU Advokat, artinya di luar sistem UU Advokat. Dengan kata lain, tidak sejiwa dengan Pasal 32 ayat (3) UU No. 18/2003 tentang Advokat.
“Sebab yang disebut sebagai organisasi profesi advokat diatur dalam Pasal 1 ayat (4) UU No. 18/2003 tentang Advokat adalah KKAI. Oleh karena itu, eksistensi PERADI dan KAI menimbulkan ketidakpastian hukum dengan melanggar hak asasi seseorang, dalam hal ini para advokat atau kelompok, dalam hal ini KKAI, untuk tidak memperoleh keadilan dengan merugikan hak-hak konstitusional Pemohon sebagai lembaga negara,” papar Pemohon panjang lebar.
Selain itu, kata Pemohon, surat Termohon yang menetapkan nama PERADI dan KAI merupakan bentuk diskriminasi, serta intervensi dengan cara menghambat Pemohon dalam menjalankan fungsi organisasi advokat, dalam hal ini KKAI sebagai lembaga negara. (Nano Tresna A./mh)