Mahkamah Konstitusi (MK) pada akhir bulan Oktober ini mengadakan temu wicara dengan mahasiswa Kelompok Cipayung yang diselenggarakan berkat kerjasama dengan Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PBHMI). Temu wicara yang diadakan di Hotel Aryaduta dari 28-30 Oktober itu diisi dengan pemaparan materi dari para hakim konstitusi.
Wakil Ketua MK Achmad Sodiki membuka acara temu wicara tersebut menggantikan Ketua MK Moh. Mahfud MD yang berhalangan hadir hari itu. Sodiki mengatakan, acara ini penting untuk dihadiri para mahasiswa, termasuk mahasiswa Kelompok Cipayung. Pasalnya, MK sebagai lembaga amanat reformasi yang dimaksudkan untuk mewujudkan negara hukum perlu diketahui kewenangannya oleh para mahasiswa. “Mahasiswa sejogjanya mengetahui tentang MK. Mahasiswa harus berpikir kritis, masihkah hukum menjadi alat kekuasaan politik saja atau tidak. Suatu saat, kalian para mahasiswa akan menghadapi problem seperti ini,” ujar Sodiki sesaat sebelum membuka acara temu wicara tersebut secara resmi.
Setelah membuka acara tersebut secara resmi, Sodiki juga menyampaikan materi mengenai hukum progresif dan keadilan substantif.Ia menjelaskan bahwa sejak lama rakyat menghendaki terwujudnya keadilan dan kesejahteraan rakyat dalam semua segi kehidupan seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Menurut aturan hukum alam, hukum harus mengandung unsur substantif atau unsur keadilan. Untuk memunculkan keadilan dalam hukum, hakim harus memberikan putusan yang mencerminkan perlindungan atas pluralisme hukum di Indonesia.
Sedangkan mengenai hukum progresif, Sodiki mengatakan, para penegak hukum, termasuk para hakim, harus melepaskan diri dari kungkungan hukum dengan melakukan terobosan hukum, penafsiran hukum, penemuan hukum dan sebagainya yang menjadi kewajiban setiap hakim. Hal itu perlu dilakukan karena hakim memiliki kewajiban untuk menggali, memahami, dan mengikuti nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Terobosanm melalui penegakan hukum progresif muncul karena selama ini masyarakat merasa tidak puas dengan putusan pengadilan atau tindakan negara yang tidak dapat menyuguhkan rasa keadilan masyarakat yang terus berubah.
Hadir pula dalam acara temu wicara itu mantan hakim MK Maruarar Siahaan. Maruarar yang menjadi pembicara sesi terakhir di hari pertama menyuguhkan materi dengan gaya khasnya yang jenaka dan meletup-letup ketika berbicara. Materi yang disampaikan Maruarar berjudul ”Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang”.
Sedangkan Sekjen MK Janedjri M. Gaffar mendapat kesempatan terakhir untuk menyampaikan materinya sekaligus menutup acara temu wicara yang diadakan di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat itu. Dalam paparannya, Janedjri menjelaskan sistem dan kedudukan MK dalam sistem peradilan Indonesia. Menurut paparan Janedjri, MK memiliki empat kewenangan, yaitu menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus sengketa hasil pemilu. MK juga memiliki satu kewajiban, yaitu memberikan putusan terhadap pendapat DPR perihal pemakzulan presiden. ”Sejauh ini MK telah banyak memutus perkara terkait konstitusi, kecuali pembubaran partai politik dan pemakzulan terhadap presiden,” ujar Janedjri.
Janedjri kemudian melakukan kilas balik. Menilik sejarah berdirinya MK, lanjut Janedjri, ide pembentukan sebuah badan peradilan yang berfungsi menguji UU terhadap UUD 1945 telah ada sejak awal masa kemerdekaan. Namun saat itu, ide yang dicetuskan oleh M. Yamin dirasa belum perlu untuk diimplemetasikan karena pada saat itu Indonesia belum memiliki sarjana hukum yang cukup banyak.
Seiring dengan berhembusnya angin reformasi, tuntutan akan adanya sebuah badan peradilan yang khusus menjalankan fungsi uji UU dirasa semakin kuat. Maka pada tahun 2003, dibentuklah Mahkamah Konstitusi yang kedudukannya sejajar dengan saudara tuanya, Mahkamah Agung.
”MKRI merupakan Mahkamah Konstitusi ke-78 di dunia yang merupakan buah pemikiran demokrasi modern. Lahirnya Mahkamah Konstitusi menjawab kebutuhan akan adanya sebuah badan peradilan yang berfungsi melakukan uji materi terhadap setiap UU terhadap UUD 1945. MKRI sendiri dalam usianya yang masih muda telah membuat sejumlah terobosan besar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu terobosan, yaitu putusan yang terkait ultra petita yakni memberikan putusan melebihi yang dimohonkan pemohon,” papar Janedjri.
Jelang penutupan temu wicara, Janedjri mengingat para mahasiswa yang merupakan agen perubahan agar dapat bersinergi untuk menyosialisasikan pentingnya kesadaran berkonstitusi di tengah masyarakat. ”HMI sebagai organisasi kemahasiswaan diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam pelestarian nilai-nilai Pancasila di tengah masyarakat yang dewasa ini dirasa telah mengalami degradasi dan kemerosotan,” tutup Janedjri. (Yusti Nurul Agustin/mh)