Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menolak permohonan Pemohon Bambang Sukarno dalam Perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Pasal 113 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) Undang-Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terhadap UUD 1945. Sidang Putusan tersebut, dilaksanakan Pukul 14.00 WIB, Selasa (1/11), di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam permohonannya, Pemohon menguji Pasal 113 Ayat (1) UU Kesehatan yang berbunyi, “Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.” Selanjutnya Ayat (2) menyatakan, ”Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.” Dan terakhir adalah Ayat (3) berbunyi, “Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditetapkan.” Menurut dalil Pemohon, pasal-pasal ini bertentangan dengan Pembukaan, danPasal 27, Pasal 28A, dan Pasal 28I UUD 1945.
Dalam keterangaanya, Pemohon mendalilkan tidak adil Pasal 113 hanya mencantumkan tembakau sebagai zat adiktif, sedangkan ganja tidak dimasukkan sebagai zat adiktif, padahal ganja nyata-nyata sebagai zat adiktif. Terhadap dalil tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa adanya ketentuan Pasal 113 yang hanya menyebutkan tembakau sebagai zat adiktif tidaklah berarti bahwa jenis tanaman lain yang tidak disebutkan dalam pasal tersebut secara serta-merta tidak termasuk zat adiktif. “Kalau memang nyata-nyata mengandung zat adiktif. Pasal 113 UU 36/2009 tidak menutup Undang-Undang lain untuk menyebutkan ada zat adiktif lain selain tembakau,” jelas Mahkamah.
Jauh sebelum UU 36/2009 diundangkan, kata Mahkamah, tahun 1976 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Meskipun demikian, menurut Mahkamah, UU Narkotika 1976 belum digunakan penyebutan zat adiktif, tetapi dalam bagian ”Menimbang huruf b” Undang-Undang tersebut menyatakan, ”bahwa sebaliknya, narkotika dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama.” ”Dengan demikian dasar pengaturan terhadap narkotika sama dengan dasar pengaturan terhadap tembakau dalam UU 36/2009 yaitu, ’dapat menimbulkan ketergantungan yang merugikan’ yang artinya sebagai zat adiktif,” tambah Mahkamah.
Lanjut Mahkamah, bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 1 huruf a UU Narkotika 1976, narkotika adalah bahan yang disebutkan pada Pasal 1 angka 2 sampai dengan angka 13, dan dalam angka 12 disebutkan, ”tanaman ganja adalah semua bagian dari semua tanaman genus Cannabis, termasuk biji dan buahnya”. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, tanaman ganja telah dilakukan pengawasan dan bahkan larangan penanaman jauh sebelum UU 36/2009 diundangkan, yaitu sejak tahun 1976. UU Narkotika 1976 digantikan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997, ”Dan terakhir digantikan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, yang dalam Undang-Undang terbaru ini, pengawasan dan larangan terhadap tanaman ganja masih tetap diberlakukan,” urai Mahkamah.
Sedangkan, menurut Mahkamah, Jaminan dan perlindungan hukum oleh Pasal 27 ayat (2) juncto Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 tidaklah dimaksudkan bahwa negara harus menjamin penghasilan setiap warga negara, yang dalam perkara ini, melindungi penghasilan yang didapatkan dari harga jual tanaman tembakau. ”Oleh karena itu, melihat fakta-fakta dan seluruh pertimbangan di atas, permohonan Pemohon tidak beralasan hukum. Dan menyatakan dalam amar putusan, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” jelas Mahkamah. (Shohibul Umam/mh)