Sidang lanjutan terhadap pengujian undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (1/11). Perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 56/PUU-IX/2011 ini dimohonkan oleh Gubernur Bengkulu non-aktif Agusrin Maryono Najamudin yang mendapat vonis bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam sidang mendengarkan keterangan Pemerintah, Suharsono yang menjadi wakil Pemerintah mengemukakan bahwa permohonan Pemohon bukanlah menjadi kewenangan MK. Suharsono mengungkapkan permasalahan yang diajukan oleh Pemohon dalam permohonannnya adalah mengenai implikasi Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP, bukan konstitusional pasal. “Permasalahan Pemohon adalah implementasi Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP dengan adanya yurispudensi MA. Penerapan suatu norma bukanlah kewenangan Mk untuk memeriksa dan memutus karena kewenangan MK adalah menguji sesuai Pasal 24C. Selain itu, MA juga berhak mengajukan kasasi dan memberikan sikap mengenai alat bukti dan penerapan hukum terhadap perkara tersebut. Materi putusan bebas murni memenuhi pemeriksaan kualifikasi sebagaimana Pasal 253 KUHAP,” jelasnya.
Menanggapi keterangan Pemerintah, kuasa hukum Pemohon, yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa Pemohon tidak berniat untuk menguji yurispudensi MA karena tidak ada pengadilan yang bisa menguji yurispudensi lembaga lain. “Namun, yurispudensi tidak dapat menggeser norma dalam suatu UU dan hanya MK yang memiliki kewenangan untuk membatalkan suatu norma UU dan menyatakan suatu norma UU tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” urainya.
Agusrin M. Najamudin ketika mengajukan permohonan ini berstatus sebagai terdakwa dalam perkara pidana yang telah diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan petitum putusan yang menyatakan putusan tersebut tanggal 24 Mei 2011 yang lalu. Jaksa penuntut umum ketika menyatakan memulihkan hak terdakwa dan kemampuan kedudukan dan harkat serta martabatnya berdasarkan ketentuan Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP.
“Maka putusan ini final karena Pasal 67 KUHAP jelas menyatakan, bahwa terhadap putusan bebas tidak dapat diajukan banding. Di dalam kasus yang dihadapi Pemohon, Jaksa (Penutut Umum) memang tidak melakukan banding, namun langsung mengajukan kasasi pada putusan tersebut dan nyata-nyata melanggar ketentuan Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP. Menurut penuntut umum berdalih bahwa pengajuan kasasi seperti itu didasarkan atas yurispudensi Mahkamah Agung (MA). Nah, dengan alasan ini maka kami berkeyakinan bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum, lantaran ada hak-hak konstitusional dari Pemohon yang dirugikan, yaitu antara lain di dalam hak-hak yang diatur di dalam Pasal 28I ayat (1) dari Undang-Undang Dasar 1945, khususnya tentang jaminan, keadilan, pengakuan, kesamaan, dan kepastian hukum yang adil,” paparnya dalam sidang perbaikan permohonan pada Jumat (7/10) lalu.
Yusril Ihza Mahendra selaku kuasa hukum Pemohon menilai pasal-pasal a quo dalam perkembangannya mengalami satu pergeseran penting terutama dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Pada angka 19 Lampiran tersebut terdapat penegasan berikut: “(i) terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; (ii) tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, maka demi hukum, kebenaran dan keadilan, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi”. Inilah yang menurut Yusril menjadi permasalahan dalam penerapan Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP. “Putusan (Surat Menteri Kehakiman) itu terus-menerus dijadikan acuan oleh banyak sekali putusan-putusan pengadilan sampai sekarang. Maka dia dikategorikan sebagai jurisprudence tetap dari Mahkamah Agung,” jelas Yusril. (Lulu Anjarsari/mh)