Komisi Independen Pemilihan (KIP Aceh) menilai keberatan mengenai tahapan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Aceh Tahun 2011 yang dimohonkan oleh H.T.A. Khalid dan Fadhlullah ke Mahkamah Konstitusi (MK) adalah tidak tepat. “Karena tahapan Pemilukada Aceh masih dalam proses pencalonan, belum mencapai pada tahapan hasil pemilukada.”
Demikian dikatakan Wakil Ketua KIP Aceh, Ilham Saputra, di hadapan Panel Hakim MK yang terdiri dari Harjono (Ketua Panel), didampingi Muhammad Alim dan Anwar Usman, Senin (31/10/2011) di gedung MK. Persidangan perkara Nomor 108/PHPU.D-IX/2011 ini mengenai sengketa Pemilukada Aceh, mengagendakan mendengarkan jawaban Termohon, DPR Aceh, dan Pemprov Aceh.
Mengenai kedudukan hukum Pemohon (legal standing), lanjut Ilham, sampai dengan berakhirnya masa pendaftaran tanggal 7 Oktober 2011, nama Pemohon tidak tercantum dalam buku registrasi pendaftaran bakal calon gubernur dan bupati. “KIP tidak pernah menerima pendaftaran pencalonan dari pihak Pemohon, sehingga apa yang disampaikan Pemohon tidak sesuai dengan yang sebenarnya,” lanjut Ilham.
Menanggapi dalil Pemohon yang menyatakan KIP Aceh tetap melanjutkan tahapan Pemilukada tanpa menunggu kepastian hukum dari, hal ini menurut KIP juga tidak tepat. Sebab, kewenangan untuk menentukan atau melanjutkan tahapan ada pada KIP Aceh, sebagaimana diatur Pasal 66 ayat (1) UU 11 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang menyatakan tahapan dan jadwal pemilihan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan walikota-wakil walikota, ditetapkan oleh KIP Aceh. “Sementara kewenangan Presiden tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 dan peraturan perundang-undangan lainnya,” tanggap Ilham.
Sementara itu, Hasbi Hasbullah, Ketua DPR Aceh, dalam keterangannya menyatakan, Pemilukada Aceh sebaiknya ditunda karena belum disepakatinya Qanun Pemilukada. “Karena kanun yang telah kita paripurnakan sebagai payung hukum itu belum disepakati bersama antara eksekutif dengan legislatif.” kata Hasbi. Sebetulnya Qanun Pilkada Aceh, kata Hasbi, sudah disahkan oleh DPR Aceh. “tapi Gubernur tidak mau tanda tangan,” lanjut Hasbi
Sementara itu, Pemprov Aceh dalam keterangannya menyatakan, Pemerintah Aceh berpendapat, penyelesaian sengketa Pemilukada harus diajukan ke Mahkamah Konstitusi, bukan ke Mahkamah Agung. Di sisi lain, DPR Aceh berpendapat sebaliknya, sehingga tidak tercapai kesepatan antara Pemerintah Aceh dengan DPR Aceh. “Karena tidak ada kesepakatan bersama, maka Gubernur Aceh tidak bisa mengundangkan Qanun tersebut ke dalam lembaran daerah,” terang Staf Ahli Gubernur Bidang Hukum dan Politik, M. Jafar.
Oleh karena itu, lanjut Jafar, Pemprov Aceh berpendapat, sebelum ada penyelesaian mengenai Qanun yang baru, maka Qanun yang lama itu tetap berlaku. “Dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Qanun yang ada sekarang, yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, tentu peraturan yang lebih tinggi yang berlaku, bukan, bukan Qanun. Kecuali memang ketentuan Qanun itu yang merupakan perintah langsung dari UUPA,” tandas Jafar. (Nur Rosihin Ana/mh)