Sidang lanjutan terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau biasa dikenal KUHAP kembali digelar Mahkamah Konstitusi pada Selasa (25/10), di Ruang Sidang Pleno. Sidang dengan Nomor 65/PUU-Ix/2011 ini dimohonkan oleh Mayor (Pol.) Tjetje Iskandar.
Dalam sidang perbaikan permohonan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Muhammad Alim, Pemohon telah melakukan beberapa perbaikan. Kuasa hukum Pemohon, Albert Nadeak mengungkapkan Pemohon sudah mempertajam argumentasi sesuai saran Majelis Hakim Panel dalam sidang pendahuluan. “Pemohon sudah menghilangkan petitum provisi yang sebelumnya kami cantumkan,” jelasnya.
Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 83 KUHAP yang menyatakan, “(1) Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding; (2) Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan”. Menurut Pemohon, pasal tersebut juga telah menyebabkan adanya diskriminasi.
Pasal 79 menentukan permintaan pemeriksaan sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri. Sedangkan Pasal 80 menyebutkan bahwa permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri. Pasal 81sendiri menentukan hal terkait ganti rugi dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya kedua hal ini yang diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri.
“Hal inilah yang kami ajukan telah terjadi pelanggaran hak konstitusional kami dan hak asasi kami, serta terjadi diskriminasi berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Atas dasar itu kami ajukan ke Mahkamah Konstitusi. Yang kedua. Bahwa kami sebenarnya biar pun sudah ada ketentuan tenggang waktu pengajuan banding atas perkara itu dan undang-undang mengatakan kami tidak dibenarkan untuk banding, kami tetap melakukan banding. Dan pada tenggang waktu yang ditentukan itu kami sudah masukkan permohonan banding. Berkenaan dengan itu, kami mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi agar kiranya pasal ini dapat dicabut dan diberlakukan bersama antarseluruh warga negara, badan hukum, dan perorangan,” ujar Albert. (Lulu Anjarsari/mh)