Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menyidangkan perkara Nomor 38/PUU-IX/2011, Selasa (25/10). Perkara pengujian UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan oleh Halimah Agustina itu kali ini beragendakan mendengarkan keterangan ahli dari Pemohon. Hadir sebagai ahli dari Pemohon, yaitu Siti Musdah Mulia seorang pakar sejarah dan politik Islam.
Siti Musdah Mulia memulai penjelasannya mengenai perceraian dalam Islam dengan mengatakan Islam adalah agama yang membawa rahmat bagi semesta alam. Salah satu bentuk rahmat yang dibawa Islam, yaitu dengan menjanjikan pembebasan bagi kelompok marjinal, termasuk kaum perempuan.
Untuk mewujudkan janji pembebasan terhadap kaum marjinal, ajaran-ajaran Islam sarat nilai-nilai persamaan, persaudaraan, dan kebebasan. ”Sayangnya nilai-nilai luhur dan ideal tersebut ketika berinteraksi dengan budaya manusia mengalami banyak distorsi seperti yang terlihat pada tafsir mengenai perkawinan dan perceraian,” papar Musdah yang juga merupakan Dosen Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Melanjutkan penjelasannya, Musdah kemudian menjelaskan hubungan suami-istri di dalam Islam. Islam memiliki sejumlah aturan terkait relasi antar suami-istri yang disebut munakahat. Di dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa pria dan wanita memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai hamba. Keduanya, masih menurut Musdah, merupakan mitra sejajar yang setara, baik dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat, dan berbangsa-bernegara.
Terkait dengan perilaku suami yang mudah menceraikan istri, Musdah mengungkapkan suami sebagai orang yang dititipi amanah oleh Allah harus dapat menjalankan amanah tersebut sebaik-baiknya dengan bersifat arif dan bijaksana. ”Suami tidak boleh menceraikan istrinya secara semena-mena, apalagi dengan sengaja membuat ulah untuk dapat menimbulkan rasa tidak nyaman istri sehingga timbul konflik dan percekcokan,” urai Musdah.
Musdah juga menjelaskan bahwa berdasar kajiannya terhadap ayat-ayat di Al-Quran yang menyebutkan kata nikah dan pasangan, terdapat lima prinsip dasar perkawinan. Pertama, mistaqan ghalidzan (komitmen kuat bagi suami-istri). Kedua, mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang). Ketiga, musawah (saling melengkapi dan melindungi). Keempat, mu’asyarah bil ma’ruf (pergaulan yang sopan dan santun dalam relasi seksual maupun kemanusiaan). Dan kelima, prinsip monogami.
Prinsip-prinsip tersebut, lanjut Musdah, perlu diterapkan dalam kehidupan berumah tangga agar komitmen perkawinan dan cinta kasih tetap terjaga sehingga perkawinan menjadi langgeng selamanya. ”Tapi, realitas memang tidak seindah aturan normatif yang digariskan. Itulah mengapa Islam membuka pintu bagi perceraian walaupun dengan aturan yang amat ketat,” lanjut Musdah.
Alasan Perceraian
Meski membolehkan atau membuka pintu bagi perceraian, tapi ayat-ayat Al-Quran dan hadis tidak menjelaskan secara rinci mengenai alasan yang boleh dipakai suami untuk menceraikan istri atau sebaliknya, istri menggugat cerai suami.
”Meski Al-Quran dan Hadis tidak menyebutkan secara rinci tentang alasan perceraian, namun pakar hukum Islam bernama Al-Sarakhsi menjelaskan faktor penyebab terjadinya perceraian adalah talak, khuluk, dan ila’. Sementara Imam Al-Syafii mengatakan talak, khuluk, khiyar, fasakh, syiqaq, nusyuz, ila’, dan zihar yang menjadi penyebab terjadinya perceraian,” papar Musdah.
Sedangkan alasan perceraian yang ada di dalam UU tentang Perkawinan merupakan hasil interpretasi para pembuat undang-undang saat itu. Alasan dalam UU tentang perkawinan menurut Musdah juga tidak menjadikan teks-teks suci agama Islam sebagai dasar penentuan alasan perceraian.
Sidang kali ini merupakan sidang panel khusus yang diketuai Ketua Panel Hakim, Achmad Sodiki. Sedangkan Anwar Usman, Ahmad Fadlil Sumadi, Hamdan Zoelva, dan Muhammad Alim bertindak sebagai Anggota. (Yusti Nurul Agustin/mh)