Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengabulkan seluruh permohonan pengujian UU No. 21/2001 yang telah diubah dengan tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua – Perkara No. 29/PUU-IX/2011 – pada Kamis (29/9) sore dalam sidang pembacaan putusan MK.
Mahkamah berpendapat, pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua adalah pemberian kewenangan yang lebih luas bagi provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri urusan pemerintahan di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas, berarti pula tanggung jawab yang lebih besar bagi provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di provinsi Papua untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai bagian dari rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Kewenangan ini berarti pula kewenangan untuk memberdayakan potensi sosial-budaya dan perekonomian masyarakat Papua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang-orang asli Papua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Peran yang dilakukan adalah ikut serta merumuskan kebijakan daerah, menentukan strategi pembangunan dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan masyarakat Papua, melestarikan budaya serta lingkungan alam Papua, yang tercermin melalui perubahan nama Irian Jaya menjadi Papua, lambang daerah dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah sebagai bentuk aktualisasi jati diri
rakyat Papua dan pengakuan terhadap eksistensi hak ulayat, adat, masyarakat adat, dan hukum adat.
Sehubungan dengan hal tersebut, lanjut Mahkamah, Penjelasan Umum UU No.21/2001 secara tegas mendorong orang asli Papua untuk terlibat baik dalam pemikiran maupun tindakan bagi kepentingan provinsi Papua dengan harapan akan terjadi perubahan kualitas orang asli Papua dalam menguasai dan mengelola sumber daya alam, sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Penjelasan Umum UU No.21/2001 tersebut dengan tegas menunjukkan adanya kebijakan afirmatif (affirmative action policy) yakni pengistimewaan untuk sementara waktu yang bertujuan memberikan peluang kepada masyarakat asli Papua untuk memiliki wakil di DPRP melalui pengangkatan.
Mahkamah juga berpendapat bahwa UU No.21/2001 sebagai pengejawantahan Pasal 18B Ayat (1) UUD 1945, di dalamnya memuat pasal-pasal tertentu yang mengatur kekhususan dimaksud. Salah satunya adalah pembentukan DPRP sebagai lembaga perwakilan rakyat dari pemerintahan daerah Papua yang bersifat khusus dan berbeda dengan daerah provinsi lainnya. Kekhususan tersebut, antara lain, adanya sebagian anggota DPRP yang diangkat
Selain itu, kekhususan tersebut juga nampak dengan adanya Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural penduduk asli Papua yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil perempuan. MRP diberi kewenangan tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan dan pemantapan kerukunan hidup beragama. Lembaga seperti MRP tersebut tidak dikenal di daerah lain di Indonesia.
Menurut Mahkamah, dengan pemberian otonomi khusus bagi Provinsi Papua seharusnya akan diakui, dijamin, dan dilindungi hakhak masyarakat hukum adat yang ada dan tetap hidup di Provinsi Papua. Hak masyarakat hukum adat tersebut seharusnya tidak boleh dikurangi atau dieliminasi dengan adanya keberadaan MRP, karena MRP bukanlah bentuk dari kesatuan masyarakat hukum adat yang lahir secara alamiah dan MRP tidak membawahi berbagai kesatuan masyarakat hukum adat yang ada di Provinsi Papua, tetapi merupakan salah satu lembaga pemerintahan daerah bentukan negara berdasarkan Undang-Undang.
Berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, meskipun dalil-dalil para Pemohon beralasan hukum, namun keberadaan pasal a quo tidak dapat secara serta merta dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena hal demikian dapat menimbulkan kekosongan hukum. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Pasal 20 ayat (1) huruf a UU No.21/2001 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
“Mahkamah berkesimpulan, para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo, permohonan para Pemohon beralasan hukum. Amar putusan, mengadili, menyatakan, mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” demikian dibacakan Ketua Pleno Mahfud MD didampingi para anggota majelis hakim konstitusi lainnya. (Nano Tresna A./mh)