Pada masa lalu, ada sebuah pertanyaan berkenaan dengan apakah hukum nasional berdasarkan pada hukum adat atau hukum barat? Kemudian ada yang berpendapat terkait hal tersebut bahwa hukum barat tersebut tidak menjamin kepastian hukum. Sedangkan seorang belajar hukum adat mengatakan bahwa hukum tersebut tidak menjamin kepastian hukum, akan tetapi dia menyakini hukum adat menjamin keadilan.
Demikian disampaikan oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Achmad Sodiki saat menanggapi Kuliah Umum yang disampaikan Soetandyo Wignjosoebroto selaku Guru Besar Emeritus Universitas Airlangga bertema ”Permasalahan Hukum dalam Kehidupan Bernegara Bangsa yang Berbudaya Majemuk,” Rabu (19/10) di Gedung SMESCO UKM, Jakarta..
Acara yang diselenggarakan oleh HuMa (Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis) dihadiri oleh ratusan peserta Kuliah Umum dari berbagai perwakilan perguruan tinggi, institusi negara, lembaga peneliti, dan juga sejumlah organisasi kemasyarakatan di Indonesia.
Lebih lanjut Sodiki mengatakan bahwa pakar hukum mempertanyakan bahwa apakah hukum nasional bisa menjamin kepastian hukum, tapi tidak bisa menjamin keadilan, atau sebaliknya bisa memberi keadilan tetapi tidak bisa menjamin kepastian hukum? Melihat pertanyaan tersebut, Sodiki mengatakan bahwa para Hakim ingin menerapkan hukum nasional berdasarkan hukum adat. ”Tetapi sayangnya, hukum adat memiliki berbagai macam definisi,” jelasnya.
Walapun hukum adat mempunyai berbagai macam definisi, tetapi kata Sodiki, hukum adat sudah melalui keputusan-keputusan hakim dalam persidangan, dan dalam keputusan-keputusan tersebut, para Hakim bisa Mengkonkritkan hukum adat. ”Pertanyanya sekarang adalah apakah hakim-hakim sekarang itu sudah mengkonkritkan hukum adat tersebut?” tanya Guru Besar Universitas Brawijaya itu.
Akan tetapi dalam pertanyaan tersebut, Sodiki mengakui bahwa paling menarik dalam pembahasan di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia bukan hukum adat tetapi hukum bisnis. Jadi, pada zaman dahulu para hakim bisa mendeskripsikan setiap arti dari hukum adat, tetapi untuk sekarang hakim-hakim tersebut jarang sekali mendeskripsikan hukum adat tersebut. ”Oleh karena itu, hukum-hukum adat tidak bisa dilindungi karena tidak ada putusan-putusan yang menjamin hukum adat,” tuturnya.
Kemudian Sodiki mencontohkan persoalan hukum adat terjadi dalam putusan-putusan di MK termasuk Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Menurutnya, UU Pemilu yang MK laksanakan pada masyarakat Kabupaten Yahukimo tidak memakai UU Pemilu. Dikarenakan, di Kabupaten Yahukimo tidak mengenal Hukum Nasional (UU Pemilu), karena masyarakat tersebut adalah buta huruf, termasuk kepala sukunya.
Lebih penting lagi, menurut Sodiki, ketika Petugas Pemilu datang, kepala suku mengumpulkan masyarakatnya. Setelah itu, proses pemugutan suara berdasarkan kesepakatan hukum adat, tidak berdasarkan UU Pemilu. Kemudian, Persoalan ini di bawah ke MK. Seketika para Hakim Konstitusi bingung, karena tidak sesuai dengan UU. ”Akan tetapi setelah melakukan perdebatan dengan para Hakim, kita mengakui bahwa cara yang demikian itu adalah sudah sesuai dengan tingkat kepandaian mereka,” urai Sodiki.
Semetara dalam paparan kuliah umum-nya, Soetandyo Wignjosoebroto mengatakan bahwa hukum negara alias hukum nasional yang tidak sesuai dengan hukum rakyat. Oleh sebab itu, tentu acapkali condong untuk tak akan dipilih oleh rakyat, atau kasarnya terkadang malah akan memperoleh perawanan dari bawah (masyarakat). ”Apabila hal ini terjadi, maka hukum nasional akan kehilangan signifikansinya,” tutur Soetandyo. (Shohibul Umam/mh)