Segenap mahasiswa yang tergabung dalam Pusat Studi Syari’ah dan Konstitusi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (5/10) pagi. Dalam kesempatan itu, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi memberikan kuliah singkat seputar peran dan kinerja Mahkamah Konstitusi, maupun hal-hal terkait lainnya.
Mengawali pembicaraan, Ahmad Fadlil Sumadi menjelaskan sebelum dibentuk Mahkamah Konstitusi RI pada Agustus 2003, dalam praktiknya tetap dijalankan ‘peradilan konstitusi’ di Indonesia. “Namun dijalankan sesuai dengan selera yang menjalankannya,” kata Fadlil.
Dikatakan Fadlil lagi, yang menafsirkan UUD 1945 pada masa itu, paling sering dilakukan oleh Presiden. Selain menafsir UUD 1945, Presiden juga yang menjalankan dan mengadili UUD 1945.
“Kala itu, ada orang berbeda pendapat dianggap inkonstitusional,” imbuh Fadlil, yang juga menjelaskan bahwa gagasan peradilan konstitusi di Indonesia pada masa perjuangan sudah pernah dicetuskan oleh Moh. Yamin, namun tidak sempat terealisir.
Lebih lanjut Fadlil menerangkan bahwa negara demokrasi intinya merupakan implementasi dari suatu hal yang pada mulanya berkembang di Inggris, dengan istilah ‘konstitusionalisme’. Pengertian konstitusionalisme, sebagai suatu ajaran bahwa negara harus dibatasi kekuasaannya.
“Sebenarnya negara merupakan organisasi yang dibentuk oleh pemilik kedaulatan. Sedangkan yang berdaulat adalah rakyat. Dengan demikian, yang memiliki negara adalah rakyat. Karena rakyat lah yang membentuk negara, agar kehidupan bersama dalam berbangsa dan bernegara dapat berjalan damai, adil, dan tenteram,” ujar Fadlil.
Berbeda dengan Teori Negara Kekuasaan, bahwa negara berasal dari Tuhan yang menyuruh ‘wakil’ nya untuk menjadi pemimpin negara agar mewujudkan kesejahteraan. Tapi yang terjadi, kekuasaan itu hanya untuk kepentingan pribadi, uang rakyat digunakan untuk kesenangan pribadi, untuk pesta pora, foya foya dan sebagainya.
“Terjadinya Revolusi Perancis akibat penyalahgunaan kekuasaan Raja Louis XVI, yang bahkan berani mengatakan ‘negara adalah aku’,” kata Fadlil.
Ditambahkan Fadlil, semakin mutlak kekuasaan diberikan, cenderung memiliki karakter korup, sewenang-wenangnya makin tinggi. Oleh sebab itulah, kekuasaan harus dibatasi. Lantas bagaimana cara membatasinya? Cara membatasinya, melalui hukum. “Oleh karena itu timbul ajaran Negara Hukum Demokratis Konstitusional,” kata Fadlil.
Dengan demikian, lanjut Fadlil, di satu sisi konstitusi merupakan implementasi ajaran konstitusionalisme, di sisi lain konstitusi merupakan implementasi ajaran negara hukum, sedangkan sisi berikutnya konstitusi merupakan implementasi ajaran negara demokrasi. (Nano Tresna A./mh)