Keberadaan Pancasila dinilai semakin meredup. Padahal selama ini, Pancasila dianggap bisa mengawal Konstitusi, dan mengawal kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi (MK). Oleh sebab itu, kita perlu memposisikan Pancasila sebagai konsensus nasional, dimana adanya nilai-nilai kebenaran etis, yang berakar dari nilai-nilai kebudayaan dan nilai-nilai religious yang sesuai dengan the local wisdom masyarakat Indonesia.
Demikian disampaikan oleh Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar saat membuka acara Temu Wicara dengan tema “Pendidikan Pancasila, Konstitusi, dan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi bagi Aktivis Badan Eksekutif Mahasiswa se-Indonesia,” di Hotel Aryaduta, Jakarta, Jumat (21/10). Acara ini diselenggarakan atas kerjasama antara MK dan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI), Jakarta.
Di depan ratusan mahasiswa dari sejumlah Universitas di Indonesia, Janedjri mengatakan bahwa nilai-nilai Pancasila dikembangkan dan disintensiskan dengan perkembangan-perkembangan pemikiran global. “Kemudian pada akhirnya oleh para pendiri bangsa negara kita, disepakati dan dimasukan dalam Pembukaan UUD,” ucap Janedjri.
Dengan demikian dapat disimpulkan, lanjut Janedjri menambahkan ketika MK melaksanakan kewenangan dan kewajibannya, MK tidak hanya memposisikan UUD 1945 sebagai batu uji MK, tetapi menjadikan Pancasila sebagai batu uji dalam melaksanakan tugas-tugas MK. “Dengan latar belakang pemikiran seperti itu, MK secara sadar menyeleggarakan kegiatan Pendidikan Pancasila, Konstitusi, dan Hukum Acara MK ini,” tutur Janedjri.
Disamping menyingung betapa pentingnya keberadaan Pancasila sebagai landasan berkonstitusi, Janedjri juga menyoroti keberadaan MK sebagai produk reformasi. Menurutnya, yang menjadi motor penggerak dalam terjadinya reformasi adalah mahasiswa. Dengan adanya reformasi tersebut maka, “menimbulkan berbagai reformasi di berbagai bidang, khususnya reformasi konstitusi yang pada akhirnya menghasilkan perubahan UUD 1945,” jelas Kandidat Doktor dari FH Universitas Diponegoro, Semarang, ini.
Janedjri juga menambahkan bahwa perubahan UUD tersebut membawa dampak yang sangat besar. Kalau kita melihat dari aspek kuantitas, kita bisa dibandingkan perubahan terhadap UUD 1945 sebelum dan sesudah diubah, perubahannya mencapai 300%. Sementara dalam pendekatan kualitatif, kata Janedjri, adanya perubahan sangat mendasar dalam sistem ketatanegaraan dan kehidupan bernegara. “Antara lain, dengan terbentuknya MK,” ucapnya.
Lebih lanjut Janedjri mengatakan bahwa sebagai lembaga peradilan ketatanegaraan, MK mempunyai wewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, dan sifatnya bersifat final. “Dengan ketentuan kewenangan MK tersebut, maka tidak ada upaya hukum lain yang bisa dilakukan terhadap keputusan MK, tutur Janedjri.
Kewenangan MK, kata Janedjri, berbeda dengan kewenangan saudara tua MK yaitu Mahkamah Agung (MA). Hal tersebut bisa dibuktikan ketika, sebuah perkara yang ada di dalam pengadilan negeri kalau kita tidak puas dengan hasil keputusan pengadilan negeri, maka bisa mengajukan Kasasi ke MA. Begitu juga kalau kita tidak puas dengan keputusan kasasi, kita juga mempunyai upaya hukum yang lain yaitu upaya Peninjauan Kembali (PK). “Dan seperti yang kita ketahui, PK ternyata bisa di PK lagi. Jadi, tiada hentinya upaya hukum yang diberikan kepada para pencari keadilan di MA,” urai Janedjri.
Sedangkan, dengan putusan MK yang final and binding, lanjut Janedjri, MK mempunyai 4 (empat) kewenangan diantaranya Menguji Undang-Undang (UU) terhadap UUD 1945. Dalam hal ini, apabila UU yang dibuat oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melanggar UUD 1945, maka MK diwajibkan oleh konstitusi untuk membatalkan UU tersebut. Kemudian kewenangan MK selanjutnya adalah Memutus Pembubaran Partai Politik, dan Memutus Sengketa Kewengangan Lembaga Negara yang Kewenangannya Diberikan Oleh UUD 1945, dan yang terakhir adalah Memutus Perselisihan Hasil Pemilihan Umum.
Kemudian, ada satu kewajiban MK, diberikan konstitusi yaitu memutus pendapat DPR bahwa Presiden/Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum yang berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenui syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. “Semua kewenangan MK tersebut akan disampaikan oleh bapak-ibu narasumber kepada peserta dalam kegiatan ini,” jelas Janedjri.
Dan pada akhir sambutanya, Janedjri mengatakan bahwa acara MK bekerjasama dengan BEM UI ini, bukan tampa maksud dan tujuan. Menurutnya, pengetahuan terkait dengan Pendidikan Pancasila, Konstitusi, dan Hukum Acara MK yang didapatkan dalam kegiatan ini, supaya disampaikan kepada rekan sejawat yaitu mahasiswa dimana mahasiswa tersebut bertempat tinggal, termasuk pada dosen dan lingkungan masyarakat setempat.(Shohibul Umam/mh)