Dasar pengujian formil undang-undang (UU) adalah Pasal 51A ayat (3) UU No. 8/2011 tentang Perubahan UU Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal itu menyebutkan, “Dalam hal permohonan pengujian formil, pemeriksaan dan putusan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan …”
“Sebenarnya pada putusan MK UU No. 27/2009 tentang Mahkamah Agung, ada pendapat Mahkamah yang mengatakan, ‘Sepanjang UU, tata tertib produk lembaga negara dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme atau formil prosedural itu mengalir dari delegasi kewenangan menurut UUD, maka peraturan perundang-undangan itu dapat dipergunakan atau dipertimbangkan sebagai tolok ukur batu uji dalam pengujian formil UU’,” kata Hakim Konstitusi H.M. Akil Mochtar kepada peserta Pelatihan Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM 2011 yang berkunjung ke Gedung MK, Kamis (20/10) pagi.
Selain soal pengujian formil UU, Akil menerangkan mengenai pengujian UU secara materiil, yaitu bilamana dalam permohonan yang diajukan para pemohon mendalilkan materi muatan dalam ayat, pasal, bagian, dan atau penjelasan, bahkan lampiran dari UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, karena lampiran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UU. Lampiran UU yang pernah dibatalkan MK, misalnya saat pengujian UU tentang Pembentukan Daerah Otonom, tentang batas wilayah yang digambarkan dalam bentuk peta pada lampiran UU tersebut.
Lebih lanjut, Akil menjelaskan mengenai batu uji pengujian UU. Diungkapkan Akil, Mahkamah Konstitusi tidak pernah membatasi batu uji dalam pengujian UU. Batu ujinya bukan hanya pasal-pasal pada batang tubuh UUD, namun bisa juga bagian dari pembukaan UUD, yang mengandung tujuan berbangsa, bernegara, serta cita-cita yang diwujudkan dalam rumusan Pancasila.
“Jadi, dalam menguji suatu norma UU terhadap UUD, kita juga menggunakan pembukaan UUD. Karena dalam pembukaan UUD 1945 termaktub Pancasila. Selain itu, ide-ide dasar pembentukan negara, menyusun kebangsaan, menentukan wilayah, semuanya termaktub dalam pembukaan UUD 1945,” urai Akil.
Oleh sebab itu, sambung Akil, hal-hal yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 didistribusikan kepada pasal-pasal yang ada di UUD 1945. Misalnya dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan masalah kedaulatan rakyat, kemudian pada pasal-pasal mengenai pendidikan, ekonomi semuanya menyebutkan untuk kepentingan rakyat, untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
“Demikian pula mengenai kehidupan beragama di Indonesia, disebutkan dalam pembukaan UUD 1945 bahwa negara Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa,” ucap Akil
Karena itulah, kata Akil, setiap warga negara Indonesia harus beragama dan negara menjamin kemerdekaan beragama setiap warga negara. Seperti disebutkan dalam Pasal 29 UUD 1945 Ayat (1), “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa“. Sedangkan Pasal 29 UUD 1945 Ayat (2), “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu“. (Nano Tresna A./mh)