Penempatan Kapolri langsung di bawah Presiden, dan pengangkatan Kapolri oleh Presiden atas persetujuan Dewan Perakilan Rakyat (DPR) tidak berdasarkan dengan Konstitusi atau tidak ada pijakan pada ketentuan UUD 1945. Demikian yang disampaikan oleh para Pemohon yaitu A. Muhammad Asrun, Dorel Almir, dan Merlina, dalam Sidang Panel Perbaikan Permohonan, di Mahkamah konstitusi, Senin (17/10).
Sidang Panel dipimpin oleh Moh. Mahfud MD, Maria Farida Indrati dan Harjono masing-masing sebagai anggota. Para Pemohon mendalilkan bahwa lima Pasal, yaitu Pasal 2, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 14 Ayat (1) huruf d, huruf g, huruf j, huruf l, dan Pasal 15 Ayat (1) huruf c, huruf d, huruf k, dan Ayat (2) huruf a, huruf c, dan huruf k dalam Undang-Undang (UU) No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bertentangan dengan UUD 1945.
Para Pemohon juga mengatakan Pemohon merasa memiliki kedudukan hukum terkait dengan penegakan hukum di Indonesia. Hal ini terkait dengan terjadi keluhan oleh aparat kepolisian dalam penanganan laporan dan perkembangan laporan. “Oleh karena itu, rakyat merasa dirugikan dan mengalami kerugian konsitusional akibat penyelenggara negara tidak berkonstitusi dalam kaitan dengan pengajuan perkara a quo,” tutur Asrun selaku salah satu Pemohon.
Lebih lanjut para Pemohon mengatakan bahwa kerugian konkrit terhadap Kepolisian di bawah Presiden adalah terkait dengan pelayanan kepolisian. Maka, mata rantai terlalu panjang, bila juga harus menyampaikan keluhan kepada Presiden sebagai atasan Kapolri. Sebagai contoh, kasus Mantan Panitra MK Zaenal Arifin Hoesin sebagai tersangka kasus surat palsu MK. “Keluhan sudah disampaikan secara berjenjang sampai kepada Presiden, tetapi tidak ada juga tanggapan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,” urai para Pemohon.
Pemohon menambahkan bahwa beberapa pemeriksaan Zaenal Arifin Hoesin di Dewan Perwakilan Rakyat dan Bareskrim Mabes Polri terindikasi keterlibatan Andi Nurpati selaku Mantan Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi dan Arsyad Sanusi selaku Mantan Hakim Konstitusi terkait surat palsu MK. Namun, menurut Pemohon, karena kedudukan Andi Nurpati sebagai salah satu Ketua DPP Partai Demokrat yang berkuasa dan di bawah binaan Presiden, maka tampak kelambanan Polisi untuk menetapkan Andi Nurpati sebagai salah satu tersangka dalam kasus surat palsu MK.
Kemudian para Pemohon juga mencontohkan kasus rekayasa kriminalisasi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, proses pemeriksaan ditingkat kepolisian menimbulkan kegaduhan akibat penolakan publik terhadap proses hukum yang dinilai keliru dan tidak mendasar. “Akan tetapi Presiden tidak meminta Kepolri untuk menghentikan proses itu, sekalipun Presiden memahami persoalan kasus tersebut,” ucap Asrun.
Oleh karena itu, para Pemohon meminta bahwa UU Nomor 2 tahun 2002 atau setidaknya menyatakan, “Pasal 2, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 14 ayat (1) huruf d, huruf g, huruf j, huruf l, dan Pasal 15 huruf ayat (1) huruf c, huruf d, huruf k, dan ayat (2) huruf a, huruf c, dan huruf k, tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat,” pinta para Pemohon.
Dalam akhir persidangan, Moh. Mahfud MD menyerukan kepada masyarakat, baik LSM, maupun persatuan-persatuan hukum atau organisasi, apabila ingin menjadikan diri sebagai Pihak Terkait, atau merasa berkepentingan dengan persidangan ini. “Karena UU ini sangat penting bagi masa depan ketatanegaraan negara kita, saya kira harus meluas dan komprehensif,” ucap Ketua MK tersebut. (Shohibul Umam/mh)